Kalimat Jurnalistik
Panduan Mencermati Penulisan
Berita
Secara harfiah
(etimologis, asal usul kata), jurnalistik (journalistic)
artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal”
(journal), artinya laporan atau
catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan
harian.
Journalism atau jurnalisme tersebut mengandung beberapa
unsur diantaranya adalah pemberitaan yaitu segala sesuatu yang erat kaitannya
dengan cara memperoleh bahan berita yang faktual dari suatu kejadian aktual dan
dituangkan dalam bentuk tulisan.
Bagi sebagian orang yang
bercita-cita menjadi wartawan buku Kalimat Jutnalistikpun bisa menjadi buku
panduan karena dalam pengertiannya sendiri wartawan adalah orang-orang yang
pekerjaannya mencari berita. Berita-berita yang dicari dan ditulis oleh
wartawan selanjutnya dikirmkan ke meja redaksi media atau pers untuk
dipublikasikan.
Kegiatan mencari berita,
mengolah berita, menulis berita dan menyusun berita tersebut akhirnya menjelma
atau menjadi sebuah profesi. Nah. Jadi orang yang menjalankan profesi itulah
yang disebut sebagai "wartawan"
Agar maksud yang hendak disampaikan sang wartawan atau
penulis tepat sasaran atau berguna—karena persis inilah kebanggaan seorang
penulis, di mana tulisannya dibaca dan memberi manfaat—maka sang wartawan atau
penulis harus menulis secara jelas, lugas dan komunikatif.
Ketika berbicara dalam Penyuluhan Bahasa Redaktur dan
Editor Media Massa di Jakarta pada 22 September 2012 lalu, Dendy Sugondo,
Peneliti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia menjelaskan, dalam
makalahnya yang berjudul Bahasa Indonesia
dalam Media Massa Indonesia,mengatakan, untuk kejelasan informasi yang
disampaikan sang wartawan, maka bahasa yang digunakan dalam penulisan berita
dan sebagainya harus memperlihatkan unsur-unsur kalimat secara gamblang. Pada
tataran kalimat harus terlihat secara tegas bagian mana sebagai predikat,
subyek, obyek, pelengkap dan bagian mana sebagai keterangan.
Bahasa yang digunakan lanjut Dendy harus lugas.
Artinya, pernyataan-pernyataan dalam penulisan untuk media massa tidak
menimbulkan interpretasi ganda. Untuk itu, bentuk kata, pilihan kata, susunan
kalimat, dan tanda baca hanya memiliki satu makna. Penggunaan bahasa kiasan
atau bentuk-bentuk metamorphosis (kecuali dalam ranah sastra) harus dhindari
karena bahasa media massa harus langsung menunjukkan persoalan yang hendak
diungkapkan.
Sedangkan komunikatif, masih Dendy, berarti , apa yang
diungkapkan penulis dalam tulisannya harus sama dengan yang dipahami pembaca.
Pemahaman pembaca akan sama dengan maksud penulis apabila pengungkapan penulis
itu dilakukan secara logis dan bersistem. Kelogisan dilihat pada hubungan
paragraf dalam wacana, hubungan antarkalimat dalam paragraf dan hubungan
antarbagian dalam kalimat.
Dengan kata lain, wacana, paragraf dan kalimat
memiliki koherensi yang masuk akal. Penyajian sebuah tulisan harus sistematis,
artinya, uraian yang disampaikan memiliki urutan hubungan yang teratur seperti
hubungan kronologis, hubungan ruang, hubungan prioritas (dari sederhana ke
kompleks, dari dekat ke jauh, dari kecil ke besar, dari mudah ke sulit, dari
konkret ke abstrak. Di sini harus cermat pula menggunakan kata-kata penghubung.
Satu hal lagi, seorang wartawan harus jujur dalam
menyampaikan fakta. Ia tidak boleh mamfaktakan yang fiktif atau malah
memfiktifkan yang fakta. Fakta adalah suci! Mari kita menyimak setiap berita
yang kita baca, memenuhi syarat-syarat di atas atau tidak? Dari situ kita bisa
mengukur kualitas wartawan dan medianya
Buku kalimat jurnalistik: Panduan Mencermati
Penulisan Berita merupakan edisi revisi dari buku berjudul sama yang
diterbitkan pada Oktober 2004. Tentu saja karena diembel-embeli kata revisi,
buku ini memang merupakan revisi atau perbaikan atas buku yang sudah berumur
enam tahun itu.
Revisi
dilakukan terhadap beberapa hal yang relatif dianggap akan mengganggu
penyampaian isi buku. Kata panduan sebagai subjudul buku mengharuskan penulis tidak
berbuat salah dalam memandu pembaca yang bisa jadi baru belajar bahasa
jurnalistik seperti saya yang juga masih mempelajari apa itu bahasa
jurnalistik.
Dari
buku tersebut ada beberapa hal yang direvisi, antara lain penggunaan tanda
baca, ejaan, istilah asing, dan isi subbab 4 ("Bersesuaian") yang
terkait dengan akurasi berbahasa. Paling tidak, perbaikan yang bersifat teknis
itu, kecuali subbab 4, tidak terlalu jauh dari Pedoman Umum Ejaan yang
Disempurnakan dan Pembentukan Istilah.
Selain
revisi masalah teknis, dalam edisi buku tersebut juga di muat revisi atas
subbab 4 tentang "Bersesuaian". Istilah "Bersesuaian"
relatif jarang diguakan dalam ilmu bahasa. Penggunaan bahasa, lebih-lebih pakar
bahasa, relatif lebih familiar dengan istilah "Kesejajaran atau
paralelisme". Dalam buku tersebut, pembaca akan menemukan bahwa bahasa ini
dapat dibagi tiga. Masing-masing adalah kesejajaran bentuk, kesejajaran
konstruksi, dan kesejajaran makna.
Dalam
buku tersebut menjelaskan tentang bagaimana menulis berita yang baik dan benar.
Di dalam buku tersebut menjelaskan sembilan bab yang terdiri dari:
Bab 1 Kalimat Jurnalistik
Bab 2 Susunan Kalimat Jurnalistik
Bab 3 Nalar dan Logika
Bab 4 Akurasi
Bab 5 Hukum DM
Bab 6 Kata Tidak
Bab 7 Pemilihan Kata
Bab 8 Kata Pungutan (Adopsi)
Bab 9 Penghematan Kata
Jika kita mau membaca dan memahaminya dengan
baik maka buku Kalimat Jurnalistikpun akan benar-benar bermanfaat bagi penulis
berita pemula karena dalam pengertiannya sendiri menulis berita merupakan
kegiatan profesional.
Dari
situ penulis ingin agar pembaca mampu mengetahui bagaimana cara membuat suatu
berita yang baik dan benar karena buku tersebut berisi pedoman yang perlu di
perhatikan dalam menyusun kalimat jurnalistik bahkan disitu setiap uaraian
diikuti penjelasan serta contoh-cotoh yang mudah di pahami oleh pembaca
terutama buat para calon wartawan.
Penulis
buku itu sendiri beliau adalah A.M. Dewabrata lahir di Yogyakarta tahun 1994.
Dari sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) sampai sekolah menengah atas ia
rampungkan di Yogyakarta. Sempat masuk di Fajultas Sospol Universitas Gadjah
Mada, tetapi hanya sampai tingkat propedeuse (propados, sebutan untuk semester
1-4). Persoalan dana membuat ia harus berhenti kuliah dan pergi ke Palembang
untuk mencari pekerjaan, tahun 1964.
Bekerja
di Yayasan Xaverius Palembang, tetapi pikirannya tak mau lepas dari bangku
sekolah. Maka, tahun 1967 ia ke Jakarta dan ikut kakaknya yang bekerja di
Angkatan Udara (Kolonel RI Suhartin). Tahun itu, atas saran dan bantuan biaya
dari kakaknya, ia masuk ke Fakultas Atma Jaya Jakarta. Sampai sarjana muda di
Atma Jaya, lalu pindah ke Unversitas Pancasila yang relatif lebih rendah biaya
kuliahnya. Namun, baru setahun di pancasila, ia putuskan berhenti sekolah
karena akhirnya merasa kasihan melihat kakaknya yang tahun 1970 baru berpangkat
kapten harus ketambahan beban dirinya. Kakaknya membujuk agar ia melanjutkan
kuliah, tetapi ia tidak mau.
Mencari
pekerjaan ternyata amat sulit. Baru pada tahun 1972 ia diterima bekerja di
harian Merdeka sebagai korektor. Lalu tahun 1973 di angkat menjadi wartawan
bidang hukum. Tahun itu juga harian Pedoman mengadakan perekrutan wartawan
baru, ia pindah ke harian yang diasuh Rosihin Anwar. Selain sebagai reporter
bidang hukum. Ia pernah menjadi Redaktur Daerah. Pedoman ditutup zaman Orde
Baru tahun 1974, ia pindah ke Berita Buana. Hanya sekitar setengah tahun, ia
lalu pindah ke Kompas, sampa pensiun 2004.
Jabatan
struktural di Kompas yang pernah di pegang adalah Wakil Redaktur Kota, Redaktur
Hukum (dua kali). Wakil Kepala Desk Sunting kemudian Kepala Desk Sunting,
terakhir menjadi Wakil Kepala Desk Artikel. Ketika pensiun 2004, ia masih
sebagai anggota Desk Artikel.
Tahun
1993-1994 ada interupsi ke luar Kompas ketika ia dipinjam oleh PT Gramedia
(kelompok Kompas) untuk ditugaskan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Bernas
(Berita Naional) Yogyakarta, dalam rangka kerja sama harian tersebut dengan
Gramedia.
Secara
otodidak ia belajar ilmu hukum, komunikasi (terutama jurnalistik dan
jurnalisme), dan psikologi.
Penulis
meninggal dunia pada Jumat, 15 Juli 2005, di Rumah Sakit Panti Rapih,
Yogyakarta.
Ahmad Ariefuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar