Jumat, 09 Januari 2015

Panduan Mencermati Penulisan Berita



Kalimat Jurnalistik
Panduan Mencermati Penulisan Berita

       
        Secara harfiah (etimologis, asal usul kata), jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan harian.
        Journalism atau jurnalisme tersebut mengandung beberapa unsur diantaranya adalah pemberitaan yaitu segala sesuatu yang erat kaitannya dengan cara memperoleh bahan berita yang faktual dari suatu kejadian aktual dan dituangkan dalam bentuk tulisan.
Bagi sebagian orang yang bercita-cita menjadi wartawan buku Kalimat Jutnalistikpun bisa menjadi buku panduan karena dalam pengertiannya sendiri wartawan adalah orang-orang yang pekerjaannya mencari berita. Berita-berita yang dicari dan ditulis oleh wartawan selanjutnya dikirmkan ke meja redaksi media atau pers untuk dipublikasikan.
Kegiatan mencari berita, mengolah berita, menulis berita dan menyusun berita tersebut akhirnya menjelma atau menjadi sebuah profesi. Nah. Jadi orang yang menjalankan profesi itulah yang disebut sebagai "wartawan"
Agar maksud yang hendak disampaikan sang wartawan atau penulis tepat sasaran atau berguna—karena persis inilah kebanggaan seorang penulis, di mana tulisannya dibaca dan memberi manfaat—maka sang wartawan atau penulis harus menulis secara jelas, lugas dan komunikatif.
Ketika berbicara dalam Penyuluhan Bahasa Redaktur dan Editor Media Massa di Jakarta pada 22 September 2012 lalu, Dendy Sugondo, Peneliti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia menjelaskan, dalam makalahnya yang berjudul Bahasa Indonesia dalam Media Massa Indonesia,mengatakan, untuk kejelasan informasi yang disampaikan sang wartawan, maka bahasa yang digunakan dalam penulisan berita dan sebagainya harus memperlihatkan unsur-unsur kalimat secara gamblang. Pada tataran kalimat harus terlihat secara tegas bagian mana sebagai predikat, subyek, obyek, pelengkap dan bagian mana sebagai keterangan.
Bahasa yang digunakan lanjut Dendy harus lugas. Artinya, pernyataan-pernyataan dalam penulisan untuk media massa tidak menimbulkan interpretasi ganda. Untuk itu, bentuk kata, pilihan kata, susunan kalimat, dan tanda baca hanya memiliki satu makna. Penggunaan bahasa kiasan atau bentuk-bentuk metamorphosis (kecuali dalam ranah sastra) harus dhindari karena bahasa media massa harus langsung menunjukkan persoalan yang hendak diungkapkan.
Sedangkan komunikatif, masih Dendy, berarti , apa yang diungkapkan penulis dalam tulisannya harus sama dengan yang dipahami pembaca. Pemahaman pembaca akan sama dengan maksud penulis apabila pengungkapan penulis itu dilakukan secara logis dan bersistem. Kelogisan dilihat pada hubungan paragraf dalam wacana, hubungan antarkalimat dalam paragraf dan hubungan antarbagian dalam kalimat.
Dengan kata lain, wacana, paragraf dan kalimat memiliki koherensi yang masuk akal. Penyajian sebuah tulisan harus sistematis, artinya, uraian yang disampaikan memiliki urutan hubungan yang teratur seperti hubungan kronologis, hubungan ruang, hubungan prioritas (dari sederhana ke kompleks, dari dekat ke jauh, dari kecil ke besar, dari mudah ke sulit, dari konkret ke abstrak. Di sini harus cermat pula menggunakan kata-kata penghubung.
Satu hal lagi, seorang wartawan harus jujur dalam menyampaikan fakta. Ia tidak boleh mamfaktakan yang fiktif atau malah memfiktifkan yang fakta. Fakta adalah suci! Mari kita menyimak setiap berita yang kita baca, memenuhi syarat-syarat di atas atau tidak? Dari situ kita bisa mengukur kualitas wartawan dan medianya
        Buku kalimat jurnalistik: Panduan Mencermati Penulisan Berita merupakan edisi revisi dari buku berjudul sama yang diterbitkan pada Oktober 2004. Tentu saja karena diembel-embeli kata revisi, buku ini memang merupakan revisi atau perbaikan atas buku yang sudah berumur enam tahun itu.
        Revisi dilakukan terhadap beberapa hal yang relatif dianggap akan mengganggu penyampaian isi buku. Kata panduan sebagai subjudul buku mengharuskan penulis tidak berbuat salah dalam memandu pembaca yang bisa jadi baru belajar bahasa jurnalistik seperti saya yang juga masih mempelajari apa itu bahasa jurnalistik.
        Dari buku tersebut ada beberapa hal yang direvisi, antara lain penggunaan tanda baca, ejaan, istilah asing, dan isi subbab 4 ("Bersesuaian") yang terkait dengan akurasi berbahasa. Paling tidak, perbaikan yang bersifat teknis itu, kecuali subbab 4, tidak terlalu jauh dari Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan dan Pembentukan Istilah.
        Selain revisi masalah teknis, dalam edisi buku tersebut juga di muat revisi atas subbab 4 tentang "Bersesuaian". Istilah "Bersesuaian" relatif jarang diguakan dalam ilmu bahasa. Penggunaan bahasa, lebih-lebih pakar bahasa, relatif lebih familiar dengan istilah "Kesejajaran atau paralelisme". Dalam buku tersebut, pembaca akan menemukan bahwa bahasa ini dapat dibagi tiga. Masing-masing adalah kesejajaran bentuk, kesejajaran konstruksi, dan kesejajaran makna.
        Dalam buku tersebut menjelaskan tentang bagaimana menulis berita yang baik dan benar. Di dalam buku tersebut menjelaskan sembilan bab yang terdiri dari:
Bab 1 Kalimat Jurnalistik
Bab 2 Susunan Kalimat Jurnalistik
Bab 3 Nalar dan Logika
Bab 4 Akurasi
Bab 5 Hukum DM
Bab 6 Kata Tidak
Bab 7 Pemilihan Kata
Bab 8 Kata Pungutan (Adopsi)
Bab 9 Penghematan Kata
Jika kita mau membaca dan memahaminya dengan baik maka buku Kalimat Jurnalistikpun akan benar-benar bermanfaat bagi penulis berita pemula karena dalam pengertiannya sendiri menulis berita merupakan kegiatan profesional.
        Dari situ penulis ingin agar pembaca mampu mengetahui bagaimana cara membuat suatu berita yang baik dan benar karena buku tersebut berisi pedoman yang perlu di perhatikan dalam menyusun kalimat jurnalistik bahkan disitu setiap uaraian diikuti penjelasan serta contoh-cotoh yang mudah di pahami oleh pembaca terutama buat para calon wartawan.
        Penulis buku itu sendiri beliau adalah A.M. Dewabrata lahir di Yogyakarta tahun 1994. Dari sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) sampai sekolah menengah atas ia rampungkan di Yogyakarta. Sempat masuk di Fajultas Sospol Universitas Gadjah Mada, tetapi hanya sampai tingkat propedeuse (propados, sebutan untuk semester 1-4). Persoalan dana membuat ia harus berhenti kuliah dan pergi ke Palembang untuk mencari pekerjaan, tahun 1964.
        Bekerja di Yayasan Xaverius Palembang, tetapi pikirannya tak mau lepas dari bangku sekolah. Maka, tahun 1967 ia ke Jakarta dan ikut kakaknya yang bekerja di Angkatan Udara (Kolonel RI Suhartin). Tahun itu, atas saran dan bantuan biaya dari kakaknya, ia masuk ke Fakultas Atma Jaya Jakarta. Sampai sarjana muda di Atma Jaya, lalu pindah ke Unversitas Pancasila yang relatif lebih rendah biaya kuliahnya. Namun, baru setahun di pancasila, ia putuskan berhenti sekolah karena akhirnya merasa kasihan melihat kakaknya yang tahun 1970 baru berpangkat kapten harus ketambahan beban dirinya. Kakaknya membujuk agar ia melanjutkan kuliah, tetapi ia tidak mau.
        Mencari pekerjaan ternyata amat sulit. Baru pada tahun 1972 ia diterima bekerja di harian Merdeka sebagai korektor. Lalu tahun 1973 di angkat menjadi wartawan bidang hukum. Tahun itu juga harian Pedoman mengadakan perekrutan wartawan baru, ia pindah ke harian yang diasuh Rosihin Anwar. Selain sebagai reporter bidang hukum. Ia pernah menjadi Redaktur Daerah. Pedoman ditutup zaman Orde Baru tahun 1974, ia pindah ke Berita Buana. Hanya sekitar setengah tahun, ia lalu pindah ke Kompas, sampa pensiun 2004.
        Jabatan struktural di Kompas yang pernah di pegang adalah Wakil Redaktur Kota, Redaktur Hukum (dua kali). Wakil Kepala Desk Sunting kemudian Kepala Desk Sunting, terakhir menjadi Wakil Kepala Desk Artikel. Ketika pensiun 2004, ia masih sebagai anggota Desk Artikel.
        Tahun 1993-1994 ada interupsi ke luar Kompas ketika ia dipinjam oleh PT Gramedia (kelompok Kompas) untuk ditugaskan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Bernas (Berita Naional) Yogyakarta, dalam rangka kerja sama harian tersebut dengan Gramedia.
        Secara otodidak ia belajar ilmu hukum, komunikasi (terutama jurnalistik dan jurnalisme), dan psikologi.
        Penulis meninggal dunia pada Jumat, 15 Juli 2005, di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.


Ahmad Ariefuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar