Rabu, 21 Januari 2015

Di balik Ujian Nasional (Part I)





Aku adalah siswa SMK ajaran 2010-2013, tau sendiri kan dulu kebetulan tahun ajaran 2013 soal ujian nasional itu dari satu siswa dengan siswa lainnya di dalam satu ruangan itu beda-beda. Satu bulan sebelum ujian, seperti biasa para siswa yang tingkat intelektualitasnya di bawah standar mulai merancang rencana agar dapat menyelesaikan ujian nasional dengan lancar. Pertama pada waktu para mantan osis membuat rencana untuk mengumpulkan siswa-siswa yang pintar untuk dapat dapat bekerja sama dalam ujian nasional, nah ketika para siswa pintar itu sudah di kumpulkan dalam aula, disitulah satu siswa bodoh tapi semangat mulai memotivasi para siswa pintar di hadapannya. Berhubung dia itu mantan osis jadi dalam dunia bicara di depan umum dia pasti sudah jago, di dalam pidatonya itu aku menyimak itu suananya sudah seperti acara mario teguh , acara di tv yang sukanya memberi solusi itu, tapi bedanya disini si mario teguh itu seorang yang bodoh, jadi kata-kata bijak yang ia ucapkan dan yang mungkin membuat para siswa pintar di hadapannya menjadi iba adalah ketika ia berkata “di sekolah ini kita masuk bersama-masa,jadi kitapun harus keluar bersama”. Itu adalah kata bijak yang paling sempurna yang pernah ku dengar apalagi buat aku yang tergabung dalam siswa yang intelektualitasnya di bawah standar. Setelah pidato itu selesai para siswa pintarpun tepuk tangan, dan aku yang ada di situpun ikut tepuk tangan dan mungkin aku yang bertepuk tangan paling keras karena aku harus meyakinkan bahwa apa yang orang bodoh tadi ucapkan adalah sesuatu yang haru dijalankan. Sambil memandang para siswa pintar itu aku membayangkan “andai saja nanti ruang ujian itu di buat seperti meja bundar , dan meja bundar itu di gunakan oleh semua siswa pintar ini, dan di tengah-tengah meja bundar itu ada satu tempat duduk yang bisa berputar-putar dan disitulah tempat duduku, pasti aku bisa lulus peringkat satu di sekolah ini”.
 Walaupun sebelum ujian nasional sudah di lakukan persiapan semaksimal mungkin tapi apa daya pada saat hari H semua berjalan tidak sesua rencana karena ketika ujian nasional berlangsung ,itu semua siswa fokus pada masing-masing soal yang ada di hadapannya jadi gak ada waktu buat bekerja sama. Begitu pula denganku,di saat Yang lain menggunakan jarinya untuk menggenggam pensil untuk menjawab setiap pertanyaan, nah aku menggunakan jariku untuk berdzikir . aku si berfikir Tuhan pasti membantu hambanya yang teraniaya oleh soal-soal ujian nasional ini. Dari mulai hari pertama ujian nasional yaitu Mapel Bahasa indonesia, dilanjut hari esoknya mapel bahasa inggris, terus Ilmu pengetahuan Alam dan terakhir matematika. Semuanya aku kerjakan dengan perasaan, aku liat soal-soalnya terus disuruh milih A,B,C,D atau E. Kebanyakan si aku milihnya A soalnya huruf A adalah hurus depan namaku. Yang lain itu mencari jawaban bertumpu pada soal yang mereka kerjakan, nah aku milih jawaban bertumpu pada imajinasi dan di dasari rasa yakin bahwa Tuhan pasti sudah menaruh satu dari 5 pilihan itu jawaban yang benar, aku sangat yakin dengan hal itu. Sampai akhirnya kegalauan hadir di mata pelajaran ujian nasinal matematike. Dari sekitar 40 soal pilihan ganda hanya satu nomor yang aku yakin pasti jawabannya bener, ya bener banget yaitu soal nomor satu karena soal tersebut sudah aku kuasai sejak aku SMP dulu. Nah 39 soal berikutnya akupun berharap pada keajaiban dunia. Dan sepertinya guru pengawaspun mulai melihat keanehan pada diriku,  di saat siswa yang lain sibuk menggunakan satu lembar kertas putih suci untuk di gunakan sebagai corat coret dalam mencari jawaban aku malah menggunakan 1 lembar kertas putih suci itu untuk membasuh keringat yang mulai menetes di keningku. Sampai akhirnya pengawas mendekatiku dan bertanya.
                Kamu sedang tidak enak badan “tanya pengawas sambil mengelus punggungku”
                Gak bu “jawabku dengan menahan rasa gelisah”
                Kok kertasnya masih kosong? “tanya ibu pengawas sambil memandang satu lembar kertas putih yang aku pegang”
                Aku gak biasa pake, jemariku ini sudah cukup buat menghitung semua soal-soal ini (jawabku dengan wajah yang mulai gugup”
                Yaudah di lanjutkan , waktu sudah hampir selesai, sambil di periksa lagi ya jawabannya (saut si ibu pengawas)
                                Dengan anggukan kepala aku balas nasehat ibu pengawas itu, waktu sudah hampir selesai dari 40 soal hanya 1 soal yang sudah terjawab. Itu suana kelas yang mungkin tenang bagi siwa lain, buatku suanan di dalam ruangan itu lebih mencekam dari suasanan di kuburan. Pada waktu itu si aku berharap sebelum bel tanda ujian selesai berbunyi, terompet sangkakala tanda hari akhir di tiup terlebih dahulu jadi nanti aku bisa melihat nilai hasil ujiannya di akhirat.
                Dari depan pengawaspun memberi kode “waktu tinggal 20 menit lagi, lembar jawab soal di periksa kembali”. Pada saat pengawas mengatakan pemberitauan hal itu ,hidupku seperti dalam keadaan tertekan. Sampai akhirnya dalam tekanan imajinasiku berbicara “itu depanmu kan siswa paling pintar di kelas, kenapa tidak di minta’i bantuan aja?” itu seperti ada bolam yang tiba-tiba muncul dari atas kepalaku. Dan ragakupun terdorong oleh ketakutan tidak lulus ujian, bayangin saja 3 tahun bergelut di dunia akademik di tentukan dalam waktu 4 hari ini saja. Akhirnya akupun mengikuti arahan imajinasiku.
                Ris ris ris (membisiki teman di depanku sambil aku dorong kursinya)
                Apa (berbisik sambil menolehkan kepalanya)
                Soal ujianmu bawa sini, ini soal ujianku tolong di kerjain yah (bicara samil merunduk)
                Ya teman di depanku memang siswa paling pintar di kelas, sebut saja dia riska, walaupun dia pintar tapi dia itu beda dari siswa-siswa pintar lainnya. Tau sendiri kan siwa pintar itu biasanya indera pendengarannya mulai terganggu ketika ujian kek gini , bahasa halusnya itu budek. Tapi si riska itu beda.
                Tak lama setelah kita tukeran soal ujian, diapun mulai mengerjakan soal punyaku. Setiap detik berjalan pada waktu itu berjalan seperti sedang sakaratul maut, karena disitulah penentuan antara lulus atau tidak lulus, dan apa jadinya jika seorang anak guru tidak lulus, dari situlah perjuanganku dalam mempertahankan nama baik keluarga berjalan. Bel pertama berbunyi tanda waktu tinggal 10 menit lagi. Bunyi bel itu seolah olah seperti bayangan ayahku yang bicara di hadapanku “buruan nak di kerjakan, ayah guru hlo !” . aku sempat membayangkan jika di saat pengumuman kelulusan nanti aku di nyatakan tidak lulus. Terus ayahku mengerti akan hal itu, pada waktu itu pasti ayahku memilih untuk pensiun dini menjadi seorang guru. Aku si gak takut jika ayahku mengetahui kalau aku tidak lulus terus beliu mencoretku dari kartu keluarga aku lebih takut pada saat ibuku mengetahui kalau anaknya ini tidak lulus, sudah pasti beliau kecewa berat, dan aku membayangkan ketika aku tidak lulus terus sesampainya di rumah ibuku sudah menunggu di depan rumah, dan sambil menangis dia berkata “aku kutuk kau jadi batu”. Sudah pasti Tuhan akan mengabulkan perkataan ibuku tadi kan?, terus aku jadi batu. Dan aku pasti di jadi’in obyek untuk tempat wisata. Nanti ketika banyak pengunjung datang untuk melihatku yang sudah menjadi batu ,salah seorang pemandu wisata bilang “ini adalah fosil orang yang tidak lulus ujian nasional” . tapi jika kejadian itu nantinya benar-benar terjadi aku yakin pada waktu yang bersamaan para anggota DPR akan melakukan sidang akbar untuk merefisi ujian nasional bahkan kemungkinan akan langsung membuat surat edaran untuk meniadakan ujian nasional dan dari situlah setidaknya aku adalah pahlawan bagi adek-adek kelasku karena mereka tidak akan mengalami ujian nasional.

                Lanjut ke suasana ruangan ujian yang mulai menegangkan ketika aku sedang menunggu soal punyaku yang sedang di kerjakan oleh si riska.  Belum juga si riska memberi kode kalau dia telah selesai mengerjakan soal punyaku itu akhirnya aku langsung minta di kembali’in.
                Hei ris,udah aja ngerjainnya (membisikinya )
                Wah ini belum ada setengah (sambil menyodorkan soal ujianku)
                Akhirnya dengan percaya diri yang tinggi aku langsung mengisi kertas jawaban itu satu persatu. Walaupun soal yang d kerjakan oleh si riska engga ada setengah tapi buatku itu adalah secercah harapanku dalam memperjuangkan derajat keluargaku. dan tanpa melihat soal karena lembar jawabanku juga masih ada yang masih kosong akhirnya menuruti keinginan jariku ini bergerak akupun menuruti pensil ini memilih antara pilihan A,B,C, atau D. Tepat bel kedua tanda ujian selesai akupun selesai mengerjakan semua soal ujian itu dengan lengkap.
                Setelah semua selesai ,semua siswapun kelaur dari ruangan ujian begitupun denganku. Di luar semua siswa ada yang tertawa-tewa karena mungkin telah menjalani hari akhir ujian dengan baik, d bagian lain ada pula yang menangis karena mungkin ada suatu kesalahan ketika mengerjakan soal ujian. Ketika aku melihat siswa yang menangis aku si heran ,baru aja selesai menjalani ujian nasional kok nangis kaya kesurupan gitu ya gimana nanti kalau tidak lulus, mungkin akan langsung kejang-kejang dan meninggal dengan tenang kali ya (bicara dalam hati sambil memandan siswa yang menangis). Kalau aku sih langsung move on dari perkara ujian nasional itu ,karena pada waktu itu aku dan temanku bertiga langsung pergi ke bendungan yang tak jauh dari sekolahanku. Di sanalah pelampiasanku pada perkara ujian nasional di mulai , tak peduli dengan banyaknya orang di situ aku langsung melepas seragamku dan meloncat ke dalam derasnya aliran sungai yang berada si samping bendungan. Di situlah ku mulai melampiaskan perkara ujian nasional dengan menggabungkan berenang gaya katak, batu, kupu-kupu, gaya bebas. Semua gaya aku kolaborasikan karena ketika diam aku pasti akan hanyut oleh aliran sungai yang deras. Sampai akhir kedua temanku ikut menyeburkan diri bersamaku. Disitulah masa kecil kurang bahagianya kita terbungkar di hadapan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar