Minggu, 13 Desember 2015

Pesan Ibnu Arabi tentang Dunia



            Dunia ini tidaklah buruk-sebaliknya, ia merupakan ladang akhirat. Apa yang kamu tanam disini akan kamu panen di sana. Dunia ini adalah jalan menuju berkah abadi dan karena ia baik-layak di damba dan di puji. Yang buruk adalah memperlakukan dunia sehingga kamu menjadi buta pada kebenaran dan di kuasai sepenuhnya oleh hasrat, keinginan, dan ambisimu kepadanya. Orang beriman bukan menghindari kenikmatan dunia, melainkan tidak meletakkan nilai yang tinggi kepadanya.”

Kisah Syaikh Abdul Qadir Jailani ngobrol dengan “Setan”


            Alkisah, Ratusan tahun silam, Syekh Abdul Qadir Jailani merasa ada yang membangunkannya setiap kali menjelang subuh. Dengan begitu, beliau tak pernah terlambat dalam menunaikan shalat fajar. Namun, hatinya penasaran siapa gerangan yang berbaik hati selalu membangunkan dirinya tanpa bosan. Beliau memohon kepada Allah agar dibukakan rahasia kepadanya.
            Menjelang suatu fajar, ternyata beliau tahu bahwa yang membangunkannya adalah setan. “Kenapa kau melakukan itu?” tanya Syekh penasaran. “Ya, aku membangunkanmu agar kau tak ketinggalan waktu sembahyangmu,”. Jawab setan itu. “Tumben kau baik sekali kali ini.”
“Bukan, aku melakukan semua ini dengan terus menerus karena aku tahu kalau kau sampai lalai memenuhi kewajiban-kewajibanmu, kau akan merasakan kesedihan yang amat sangat, dan selama hari berikutnya kau akan berdoa jauh lebih khusuk lagi, memohon ampun dengan setulus-tulusnya, lalu kian memperbanyak shalat sunnah dan menambah banyak kebajikan demi menebus kelalaianmu.”

            

Rabu, 21 Oktober 2015

Asas Masyarakat Islam yang telah diletakkan oleh Rasulullah

, antara lain:
1.       Al-Ikba (Persaudaraan)
2.       Al-musawah (persamaan rasial manusia)
3.       Al-tasamuh (toleransi beragama)
4.       Al-tasyawur (musyawarah)
5.       Al-ta’awun (tolong-menolong dalam kebaikan)

6.       Al-adalah (keadilan untuk semua)

Rabu, 30 September 2015

Ciri-ciri berfikir secara filsafat


                Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti bahwa berpikir dan berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu. Ada beberapa ciri berfikir secara kefilsafatan, yatu :
1.       Berfikir secara radikal. Radikal berasal dan kata Yunani, yaitu radix yang berarti “akar”. Berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, esensi, atau sampai ke substansi yang dipikirkan. Manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indra yang selalu berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi.
2.       Berfikir secara universal (umum). Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dan umat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan penjajakan yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan universal. Bagaimana cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat berbeda-beda. Akan tetapi, yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dan hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.
3.       Berfikir secara konseptual. Yang konsep disini adalah hasil generalisasi dan abstraksi dan pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfilsafat tidak berfikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus, tetapi berikir tentang manusia secara umum. Dengan ciri yang konseptual ini, berfikir secara berfilsafat melampaui batas pengalaman hidup sehari-hari.
4.       Berfikir secara koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten, keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa indonesia, yaitu runtut. Adapun yang dimaksud runtut adalah bagan konseptual yang disusun tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di dalamnya.
5.       Berfikir secara sistematik. Sistematik berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dan sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat atau argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6.       Berfikir secara komperhensif. Komperhensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara kesuluruhan sebagai suatu sistem.
7.       Berfikir secara bebas. Sampai batas-batas yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan sesuatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, atau religius. Sikap-sikap demikian ini banyak dilakukan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Semisal Socrates, ia memilih meminum racun dan menatap maut dari pada harus mengorbankan kebebasan berfikir menurut keyakinannya, walaupun sebenarnya banyak dari murid-muridnya yang sanggup untuk melepaskannya dari hukuman mati itu, namun ia justru menolaknya. Kemudian Spinoza karena khawatir kehilangan kebebasan berfikir bebas, ia menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
8.       Berfikir dengan pemikiran yang bertanggung jawab. Pertanggung jawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya. Di dini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya.

Hal 1-3

PERBANDINGAN ANTARA FILSAFAT TIMUR DAN FILSAFAT BARAT



            Priyono[1]  menyebutkan empat bidang besar yang menjadi titik pembeda antara filsafat Timur dan Barat, yang secara khas dihayati oleh masing-masing budaya, yaitu: (1) Pengetahuan, (2) sikap terhadap alam, (3) ideal dan cita-cita hidup, dan (4) satatus persona.
            Dalam filsafat Barat, rasio (akal budi) memegang peranan utama. Hal ini tergambar antara lain dari ungkapan Aristoteles, bahwa rasio merupakan mahkota kodrat manusia. Dengan rasio tersebut manusia di dalam Barat mampu mengembangkan ilmu dan membebaskan manusia dari mitos-mitos. Pada bagian lain, filsafat Timur lebih menekankan unsur intuisi (cahaya ilahi) jika dalam budaya Barat, belajar misalnya ditujukan untuk mampu menjawab tantangan alam, dalam dunia Timur justru sebaliknya, belajar adalah untuk mendidik manusia menjadi bijaksana. Dengan kebijaksanaan manusia akan menghayati hidup lebih baik dan sempurna karena hidup merupakan seni yang sulit dan membutuhkan refleksi sepanjang hidup, sebuah sikap yang tidak mengandalkan akal budi sebagai kekuatan utama.
            Tentang sikap terhadap alam, tampak bahwa filsafat Barat bersifat eksploitatif (menguras atau mengeruk). Dengan ilmu dan teknologi yang dikuasainya, alam ditaklukan dan dikuras untuk kepentingan manusia. Hal ini berbeda dengan filsafat Timur yang memandang bahwa alam pun mempunyai jiwa, bahwa manusia adalah bagian dari alam dan antara manusia dan alam berasal dari zat yang satu. Terutama dalam hal ini India dan Cina amat menekankan unsur harmoni dengan alam tersebut.
            Menurut Priyono,[2] ideal atau cita-cita hidup masyarakat Barat adalah to do is mpre important than to be yang artinya, “Bertindak adalah lebih penting daripada berada”. Sikap untuk mengisi hidup selalu bertindak dan bekerja setinggi mungkin. Sebaliknya, manusia Timur lahir dan hidup dalam budaya yang menyebut diri to be is more important than to do yang artinya, “Ada dan hadir lebih penting daripada bertindak”. Kensekuensi dari ideal hidup demikian menyebabkan manusia Timur cenderung pasif, konvensional, dan dengan sendirinya tidak menyukai konflik. Padahal, melalui konflik itulah manusia Barat mengadakan perbaikan-perbaikan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan manusia. Jadi, tatkala manusia Barat berdebat tentang cara memperoleh materi, manusia Timur justru di ajarkan untuk hidup tenang bersahaja.
            Selanjutnya, mengenai status persona, filsafat Barat memandang manusia sebagai individu yang berhadapan dengan masyarakat. Itulah sebabnya dalam dunia Barat (khususnya dalam lapangan hukum), hak-hak individu lebih dikedepankan dari pada hak-hak kolektif. Kebalikannya, dalam filsafat Timur, manusia individu justru di pandang sebagai bagian dari masyarakat itu. dapat dikatakan hal ini sinkron dengan cara pandang filsafat Timur terhadap hubungan manusia dengan alam.
            Sementara itu, filsafat (negara-negara) Islam apabila mengacu sepenuhnya kepada agama Islam, dapat dikatakan telah mulai menjembatani corak filsafat Barat dan Timur ini. Walaupun demikian, dalam kenyataannya, filsafat (negara-negara) Islam itu telah berinteraksi dengan pandangan hidup masyarakat setempat, sehingga unsur-unsur ketimuran sebagaimana tampak pada filsafat India dan Cina ikut mewarnai filsafat (negar-negara) Islam ini. Dalam sejarah bahkan terbukti bahwa filsafat ini mulai kehilangan pengaruhnya di Eropa seiring dengan direbutnya kembali kawasan Maghribi dari tangan orang-orang Islam. Juga ada wilayah, yang semula berada dalam satu pemerintahan di kawasan Masyriqi, mulai melepaskan diri. Persia (Iran), misalnya kendati masih beragama Islam, menyatakan merdeka dan lepas dari pemerintah Arab.
            Seiring dengan penyebaran agama Islam, pengaruh filsafat ini juga menyebar ke kawasan Afrika dan Asia lainnya, termasuk di Indonesia. Di Asia Selatan dan Tenggara, agama Islam masuk ke dalam sistem sosial yang terutama telah banyak dipengaruhi oleh Buddhisme dan Hinduisme yang telah dianut dari dulu selama berabad-abad. Corak filsafat yang di bawa oleh agama Islam ini kemudian bercampur dengan Buddhisme dan Hinduisme, dan menjadi pandangan hidup bagi masyarakat luas.
            Secara ekstrim, perbandingan antara filsafat Timur dan Barat dapat pula di amati dari pembedaan yang dianut oleh Eerste Nederlandse Sustematisch Ingerichte Encyclopaedie.[3]
            Dalam banyak hal, misalnya, filsafat Barat juga bersifat asli (natuurlijk), konservatif, kolektivitas, dan sebagainya. Perbedaan tersebut dapat dijadikan masukan, tetapi bukan pegangan mutlak. Manusia di manapun ia berada, tidak mungkin dapat hidup dalam satu kutub yang ekstrem demikian. Filsafat Indonesia yang notabene termasuk filsafat Timur juga tidak ingin berada pada salah satu kutub yang terpisah demikian.
            Dalam filosofi bangsa-bangsa Timur, seperti India, Cina, dan Indonesia, selalu diajarkan, bahwa antara mikrokosmos dan makrokosmos senantiasa hidup harmonis: selaras, serasi dan seimbang. Filosofi demikian dalam satu sisi boleh jadi merupakan penyebab keterbelakangan bangsa-bangsa Timur (dengan beberapa pengecualian) dari bangsa-bangsa Barat, tetapi di sisi lain filosofi tersebut justru merupakan kemenagan bangsa-bangsa Timur itu. kemajuan teknologi lebih dahulu di nikmati oleh bangsa-bangsa Barat karena mereka secara gencar berani mengeksploitasi alam, sekalipun akibatnya kerusakan lingkungan hidup pun lebih banyak terjadi di belahan dunia Barat.
            Dengan atribut-atribut demikian, tidak mengherankan apabila filsafat Barat berhasil mencapai kematangannya dengan melahirkan ilmu-ilmu positif dan teknologi sampai akhirnya masyarakat Barat sendiri mempertanyakan kemajuan-kemajuan itu, seperti terbukti dengan munculnya problem ekologi, alienasi, instrumentalisasi akal budi, dan segmentasi bidang kehidupan. Problem-problem ini tidak pernah dipermasalahkan oleh filsafat Timur. Dalam filsafat Timur, manusia menyatu dengan realitas, dan dari sana manusia merefleksikan inti dirinya dan inti realitasnya. Karena kesatuan begitu ditekankan, dengan sendirinya masalah-masalah yang ada dalam pemikiran Barat (ekologi, elienasi, dan lain-lain) tidak dipersoalkan oleh filsafat Timur.[4]
            Dengan latar belakang seperti itu, tidak berarti filsafat Timur lebih terbelakang dalam segala hal dibandingan dengan filsafat Barat. Seperti dinyatakan oleh Sutrisno,[5] filsafat Timur (khususnya India) mengandung ciri sentral religiositas yang mendalam. Artinya, filsafat selalu dikaitkan dengan persoalan keselamatan manusia. Keselamatan itu di capai dengan penguasaan diri dan akhirnya mencapai penemuan diri. Ciri kedua, filsafat Timur tidak membagi-bagi mana yang rasional, tetapi menekankan segi praktis, dalam arti bahwa filsafat senantiasa dikaitkan dengan tujuan hidup manusia sendiri: mengatasi derita, mengatasi duka. Lebih dari itu filsafat Timur tidak bisa menjawab persoalan-persoalan teknologis yang ada dalam masyarakat modern dewasa ini.
            Dengan demikian, menurut Sutrisno, pertanyaan tentang bagaimana filsafat Timur menjawab tantangan-tantangan masyarakat modern sebenarnya kurang tepat diajukan, mengingat filsafat Timur itu mau menyajikan falsafah hidup. Falsafah hidup itu ditawarkan kepada mereka yang mau. Di sinilah segi menarik filsafat Timur itu, yaitu filsafat Timur tidak bersifat memaksa. Filsafat Timur ternyata mampu menawarkan suatu falsafah hidup dengan seluruh kebebasan yang diberikannya.
            Sekalipun terdapat berbagai perbedaan itu, filsafat Timur dan Barat sesungguhnya dapat bekerja sama dan saling melengkapi. Sebagaimana dinyatakan oleh Sutrisno, filsafat Timur dapat belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat pun dapat belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenai identitas mikrokosmos dan makrokosmos. Falsafat Barat mungkin lebih duniawi, filsafat Timur mungkin terlalu mistik.
            Tuntutan untuk mengadakan kerja sama di atas semakin urgensi saat ini, mengingat proses globalisasi sedang dan akan terus berlangsung sebagai akibat kemajuan teknologi komunikasi. Masalah negara-negara di dunia Timur akan dirasakan pula sebagai masalah bagi negara-negara lain di dunia Barat, demikian pula sebaliknya. Problem-problem ekologi dan kemanusiaan, misalnya, sejak lama menjadi perhatian baik filsafat Timur maupun Barat, dan masalah-masalah itu sampai saat ini tetap menuntut pemecahannya bersama-sama.




[1] Priyono, H., Nilai Budaya Barat dan Timur Menuju Tata Hubungan Baru, dalam Tim Redaksi Driyarkara, Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 4-14.
[2] Ibid., hlm. 204
[3] Duyvendak, J.J.L., “Filsafat Tiongkok Klasik (kuno)”, dalam Eerste Nederlandse Systematichte Ingerichte Encylopaedie, Jilid I (terjemahan Poedjioetomo), (Yogyakarta: tanpa penerbit (tidak dipublikasikan), 1956) hlm. 2.
[4] Sutrisno, M,. “Kata Pengantar”, dalam: Tim Redaksi Driyarkara, Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. X.
[5] Ibid., hlm. xi-xii.

Minggu, 27 September 2015

Definisi Cinta

"Laisal hubbu a'n nabqo daaiman bi jaanibi man nuhibbu, wa laakinnal hubbu an nabqo fie qolbi man nuhib."
Cinta bukan berarti kita selalu berada di sisi orang yang kita cintai... Tapi cinta itu adalah tatkala kita berada dalam hati orang yang kita cintai.

Nasehat Gus Dur

"Jangan hanya berhenti mencintai agama, tetapi agamakanlah cinta." ~

Kesalahan saat membaca Surat Al fatihah/dalam shalat ..Iyyaaka na'budu Waiyyaaka nasta'iin..


Jumat, 25 September 2015

Aswaja

NU, dgn sendi aswaja, menyelaraskan nilai2 tasamuh (toleransi), tawazun (keberimbangan), tawassuth (moderatisme) dan ‘adalah (keadilan)

Persatuan dalam Islam

ukhuwwah Islamiyyah (seagama), ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan dlm kemanusiaan) & ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan)

Kamis, 24 September 2015

Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan

Pendidikan menumbuhkan semangat nasionalisme dan pratiotisme guna memperjuangkan kepentingan bangsa di atas kepentingan-kepentingan politik yang kerdil dan sempit yang kemudian hanya mengorbankan kepentingan bangsanya. Pendidikan itu berupaya sekuat tenaga menanamkan rasa persaudaraan, persamaan, kesetiakawanan, dan kebersamaan hidup senasib seperjuangan. membela bangsa dalam segala bentuk penindasan. baik secara fisik maupun psikis. tidak peduli apakah penindasan tersebut berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri. Pendidikan pun bermuara guna melahirkan rasa mencintai segala aset bangsa agar dijaga dengan segala cara. agar dapat dimanfaatkan bagi kebesaran dan kemakmuran bangsa.

Senin, 21 September 2015

Pramoediya Ananta Toer pada era Gus Dur


                Sebelum Gus Dur menjadi presiden, tepatnya ketika jabatan presiden masih di tangan Habibie, Pram tidaklah simpatik. Menurutnya dalam sebuah wawancara dengan media massa, ia menilai habibie sebagai pemimpin atau kepala negara belumlah teruji oleh sejarah, untuk tidak mengatakan Habibie belum memiliki wawasan kenegaraan apalagi wawasan kebangsaan dan keindonesiaan dan nasionalisme.
                Sampai kemudian pada era Gus Dur, pemerintah mencoba menjembatani dialog rekonsiliasi dengan Pram, dengan mengundang Pram ke istana untuk membicarakan konsep negara Indonesia sebagai negara maritim. Gus Dur mengakui bahwa Pram memiliki konsep kuat soal maritim yang tercermin dalam beberapa karyanya seperti Arok Dedes. Pram dan Gus Dur memiliki kesamaan akan proses pendangkalan kekuatan kemaritiman yang sebenarnya ada, tapi di tenggelamkan sejak pemerintahan Soeharto. Dari pertemuan inilah kemudian pada pemerintahan Gus Dur di bentuk sebuah kementrian yang mengurusi kekuatan dan kekayaan laun.
                Lebih jauh dari perbincangan ke perbncangan selanjutnya antara Pram denga Gus Dur, muncul wacana pencabutan tap MPRS No.25 tentang pelanggaran organisasi, ideologi PKI, pengajaran dan penyebaran atau diskusi tentang komunisme di tanah air Indonesia. Dari wacana tersebutlah, Gus Dur mendapatkan tantangan dari kalangan Islam garis keras dan kebanyakan kalangan militer. Perdebatan berlarut-larut, menimbulkan polemik panjang, kontroversi tak berkesudahan, dan akhirnya Gus Dur mengucapkan ia hanya mengajak kita mulai terbuka, maju, dan berdamai dengan sejarah, jika wacana tersebut kurang berkenan, Gus Dur tidak akan memperpanjangnya.
                Berkaitan dengan Pram, Gus Dur di hadapan publik sebagai kepala pemerintahan, atas nama ansor-NU yang bagaimanapun sedikit banyak, sengaja atau dimanfaatkan ikut serta dalam peristiwa pembantaian terhadap orang-orang PKI atau yang diduga PKI meminta maaf kepada Pram. Namun, Pram menolak permintaan maaf Gus Dur. Hal ini disebabkan, menurut Pram, Gus Dur cenderung takut pada Soeharto sehingga beberapa kali sowan kepada Soeharto. Bagi Pram rekonsiliasi harus dipakai dengan perspektif orang yang teraniaya, bukan yang menganiaya. Jadi, sulit dibayangkan jika inisiatif dan pelaksanaan rekonsiliasi dilakukan oleh yang menganiaya. Istilahnya Pram dengan keras mengatakan “Gampang amat minta maaf”.
                Pernyataan maaf Gus Dur atas perilaku yang pernah terjadi pada kelompok tradisinya di NU menjadi kontroversi di lingkungannya sendiri, yang terang-terangan menolak permintaan maaf tersebut, dan juga mendapat tantangan dari kalangan di luar tradisinya juga. Sudah begitu, permintaan maaf itu di tolak pula oleh Pram. Hal ini menjadi kontroversi dari kekerasan hati Pram. Sepertinya kedua tokoh ini bersaing ketat soal polemik dan kontroversi.

                Menurut Pram, Gus Dur bukanlah tipe seorang pemimpin yang bisa diharapkan. Baginya, Gus Dur  memang demokratis, tetapi hanya bisa membuat humor dan guyonan. Gus Dur tida tegas  terhadap kekuatan Orde Baru, bahkan beberapa kali menunjukan sikap melakukan rekonsiliasi dengan mantan pimpinan Orde Baru sendiri, yaitu Soeharto.

Minggu, 20 September 2015

Ide sederhana (diary)


                Yogyakarta adalah satu-satunya daerah di Indonesia dengan predikat Istemewa. Dan tentu saja predikat keistimewaan itu bisa di lihat dari daerah ataupun orangnya atau masyarakatnya seperti yang ada dalam liriknya lagu “Jogja Istimewa” yang di ciptakan oleh Jogja HipHop Foundation yaitu “Jogja jogja, jogja istimewa, istimewa negerinya istimewa orangnya. Dan salah satu dari keistimewaan kota Yogyakarta adalah dengan julukannya sebagai Kota Pelajar. Dan jika berbicara tentang pelajar itu tidak bisa dilepaskan dengan membaca. Dan ketika membicarakan tentang membaca yang tersirat dalam benak adalah perpustakan.
                Di dalam tulisan ini penulis akan menceritakan tentang sebuah ide yang muncul secara spontan di dalam perpustakan Kota Yogyakarta yang berada di Jl. Suroto No.9 Kotabaru, Yogyakarta. Hari itu tepatnya hari minggu 20 September 2015. Ya perpustakaan kota yang letaknya tak jauh dari toko buku Gramedia ini memang buka seminggu full. Dan untuk fasilitas sendiri sudah termasuk paling baik. Bukan hanya sekedar menyediakan bermacam-macam buku, tapi juga ada fasilitas free Wifi, Kantin, ruangan baca khusus anak-anak dll.
                Tepatnya sabtu malam tanggal 19 september 2015, penulis mendapat telvon dari pihak perpustakaan untuk bisa hadir dalam diskusi yang akan di adakan oleh pihak perpustakaan kota. Pada awalnya saya sendiri heran kenapa saya da suruh datang mengikuti diskusi, sementara saya sendiri tidak tahu diskusi apa yang akan dilakukan pihak perpustakaan sehingga harus meminta saya untuk hadir. Dan untuk menjawab keheranan saya itu, minggu pagi tepat pukul 08.00 saya sampai di perpustakaan sesuai dengan apa yang di minta oleh pihak perpus. Di pintu masuk perpustakaan saya menemui mas adit bagian receptionis. Belum juga saya menanyakan tentang kenapa pihak perpustakaan memanggil saya , mas adit langsung berkata “Sudah di tunggu di ruang diskusi mas”. Dengan wajah masih kebingungan saya langsung menuju ke ruang diskusi. Sampai di dalam ternyata di situ sudah di tunggu oleh beberapa staf dari pihak perpustakaan. Dan setelah di persilahkan duduk, Pak edi staf arsip perpustakaan kota yogyakarta yang sedang memimpin rapat diskusi langsung berkata. “Selamat datang mas arif, begini mas arif, kami sengaja melakukan diskusi disini dan secara khusus mengundang mas arif datang karena ini sebagai bentuk pertanggung jawaban pihak perpustakaan pihak perpustakaan atas kritik dan saran yang pernah di tulis mas arif kepada pihak perpustakaan yaitu dimana mas arif meminta di buat tempat ruangan khusus untuk diskusi, belajar kelompok, seminar yang disitu di sediakan proyektor. Dan disitu mas arif juga memberikan saran agar menggunakan salah satu sudut di lantai 2 yang terlihat kurang bermanfaat untuk di jadikan tempat itu.
                Mendapat penjelasan panjang lebar dari Pak Edi akhirnya saya baru sadar ternyata ini bentuk apresiasi dari pihak perpustakaan yogyakarta atas kritik dan saran yang pernah saya tulis dan saya masukan di dalam kotak kritik dan saran yang ada di pintu masuk perpustakaan. Walaupun saya masih tidak menyangka kalau kritik dan saran yang pernah saya tulis itu bakal di apresiasi seperti ini, karena waktu itu saya sendiri menulis kritik dan saran itu dalam keadaan masih marah karena saya masih membuat tugas di salah satu meja di lantai 1 ,tepat di sebelah saya ada sekelompok anak berseragam SMA yang nampaknya sedang kerja kelompok tapi dengan suara yang keras yang membuat orang-orang disekitarnya menjadi terganggu, sampai akhirnya saya harus pindah ke lantai 2. Dan saya melihat di satu sudut di lantai 2 terlihat sangat kurang terpakai karena ruangannya sendiri cukup luas tapi hanya di pakai untuk ruangan baca anak-anak dan beberapa meja untuk membaca. Dari situlah terbesit untuk memberi kritik dan saran itu.
                Kembali ke dalam ruangan diskusi, Mbak mega staf bendahara perpustakaan berkata: Begini mas arif, sebenarnya kritik dan saran mas arif itu sudah di diskusikan oleh pihak perpustakaan sejak lama, dan alhamdulilah proposal dari pihak perpustakaan pun sudah selesai, nah disini kami dari pihak perpustakaan mengundang mas arif sebagai orang yang sudah memberikan saran ini untuk memberikan nama untuk ruangan ini, dari pihak perpustakaan sendiri memberikan 3 pilihan yaitu:
1.       Ruang Diskusi pelajar
2.       Ruang Diskusi Perpustakaan
3.       Ruang Diskusi
Nah sebagai bentuk apresiasi kami dari pihak perpustakaan memberikan hak preogatif untuk kepada mas arif untuk memilih dari ketika nama tersebut (lanjut mba mega)
                Di ruangan itu saya belum bicara sepatah kata, tapi entah kenapa saya sudah di berikan hak preogatif seperti itu. menarik nafas dalam-dalam saya mencoba menjawab pertanyaan itu.
                “Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih atas apresiasinya, nah untuk pertanyaan itu sendiri semisal saya memberikan nama lain kira-kira boleh tidak ya? (saya ajukan pertanyaan sambil menatap wajah mba mega)
                Silahkan boleh mas (saut pak edi)
                Owh, yaudah monggo mas (sambung mba mega)
                “semisal ruangan itu diberi nama Raisa gimana? “
                Belum juga saya menjelaskan tapi ruangan diskusi yang sebelumnya berjalan tenang tiba-tiba langsung riuh dengan tawa. Saya sendiri jadi agak canggung, sampai akhirnya saya kembali melanjutkan pembicaraan.
                “begini Pak/Bu , dalam 3 nama yang di ajukan tadi kurang enak di dengar, pertama Ruang Diskusi Pelajar, kata pelajar seolah-olah hanya di tujukan untuk pelajar saja. Kedua, Ruang Diskusi Perpustakaan, di situ kata perpustakaan terlihat umum. Ketiga, Ruang Diskusi, itu malah lebih monoton. Jadi saya mengajukan agar ruangan itu diberi nama RAISA yang artinya Ruang Diskusi Bersama.
                Lagi-lagi ruang diskusi yang sudah tenang langsung riuh dengan tawa riya. Dan sampai akhirnya baik Pak Edi maupun Mbak mega serta semua staf setuju dengan ide yang saya berikan itu.
Walaupun namanya RAISA terdengar aneh karena saya sendiri mendapat ide itu setelah teringat dengan sosok Raisa seorang penyanyi Jazz yang fotonya saya jadikan foto sampul saat diskusi sedang berjalan.


Begitulah cerita di balik terbentuknya ruang RAISA yang sampai sekarang terus di pakai oleh para pengunjung perpustakaan Kota Yogyakarta, bahkan hampir setiap hari ruangan itu hampir tidak ada jeda untuk di pakai baik oleh pelajar, mahasiswa, dan pengunjung dari organisasi umum.

Si Tuli




                Di Khurasan ada seorang ulama besar bernama Khatim bin Alwin. Muridnya banyak, pengaruhnya luas, dan ilmunya tinggi. Tetapi, di tengah masyarakat ia memperoleh julukan Al-Asham atau si Tuli. Anehnya julukan yang biasanya untuk merendahkan itu buat Imam Khatim bin Alwan justru merupakan gelar kehormatan yang mengabadikan akhlak terpujinya sehingga ia dihargai oleh umat manusia sepanjan masa.
                Gelar buruk, namun terhormat itu didapatkan oleh Imam Khatim bin Alwan ketika pada suatu ketika seorang gadis cantik keturunan bangsawan datang ketempat ia biasa memberikan pelajaran yang juga merupakan tempat penyimpanan ratusan kitab-kitab karyanya. Gadis cantik itu bermaksud menanyakan suatu masalah yang dibutuhkan jawabannya dengan segera.
                Ketika sudah dipersilahkan masuk, tiba-tiba gadis itu terlepas kentutnya, walaupun pelan tapi bunyinya terdengar nyaring. Imam Khatim terkejut. Baru kali ini ia mendengar orang kentut di mukanya, apalagi seorang gadis.
                Si gadis cantik, begitu mendengar kentutnya sendiri, betapapun pelannya, mendadak merah padam wajahnya lantaran malu sekali. Apalagi yang ada di hadapannya adalah seorang ulama besar yang di hormati oleh segala lapisan masyarakat, termasuk raja dan pembesar-pembesar kerajaan.
                Namun, alangkah leganya gadis cantik itu tatkala Imam Khatim bertanya dengan suara sangat keras. “Coba ulangi, apa keperluanmu?”
                Dengan lantang gadis cantik itu menanyakan suatu masalah yang sedang di alaminya. Sudah keras sekali suara gadis itu, tapi Imam Khatim pura-pura tidak mendengar. Padahal bunyi jarum jam pun telinganya masih dapat mendengar. Tetapi Imam Khatim masih juga berteriak keras, “Lebih keras lagi suaramu. Aku tidak mendengar. Apa kamu tidak tahu, aku ini sejak seminggu yang lalu menjadi budek, pekak, tuli akibat demam panas?.
                Mendengar pengakuan Imam Khatim tersebut. Si gadis cantik makin bersinar wajahnya. Sebab ia berpikir, kalau suaranya yang sudah keras saja Imam Khatim tidak bisa mendengar apalagi bunyi kentutnya yang halus, pasti Imam Khatim tidak mendengarnya.

                

YANG PERTAMA MASUK SURGA



                Alkisah, di depan pintu surga kelak menurut Nabi SAW. Akan ada empat manusia yang hendak masuk surga terlebih dahulu. Dasar manusia, mereka saling berbuat siapa yang mula-mula berhak masuk surga pertama kali. Karena Malaikat Ridlwan tidak dapat mengambil keputusan, turunlah Malaikat Jibril ditugaskan sebagai hakim. Di antara mereka yang ingin masuk surga terlebih dahulu ialah Pahlawan yang berjihad di jalan Allah, orang kaya yang dermawan, haji yang mabrur, dan orang alim yang saleh.
                Salah satu dari mereka di panggil ke muka dan di tanya, “Dengan sebab apa engkau akan masuk surga tanpa disiksa?”
                Orang itu menjawab, “Saya seorang pahlawan yang mati syahid di medan perang karena membela agama.”
                Jibril berkata, “Dari mana kau tahu bahwa pahlawan yang mati syahid bakal masuk surga tanpa dihisap?”
                Pahlawan menjawab, “Dari guru saya, orang alim.”
                “Kalau begitu, jagalah akhlak yang baik. Biarkan gurumu yang alim itu masuk surga lebih dahulu,” ucap Malaikat Jibril.
                Pahlawan itupun menunduk menyadari ketidaksopanannya.

                Lalu dipanggil pula haji mabrur, yang ikhlas dan tidak cacat dalam melaksanakan ibadahnya. Ia di tanya oleh jibril, “Siapa engkau? Dan apa amal baikmu di dunia hingga mau masuk surga lebih dulu?’
                Haji itu menjawab,”Saya seorang haji yang mabrur. Sesuai dengan janji Rasulullah, tidak balasan yang setimpal bagi saya kecuali surga.
                “Betul, begitulah janji Nabi bahkan sejalan dengan wahyu Allah. Tetapi, dari mana engkau tahu bahwa Rasulullah pernah berjanji seperti itu?”
                “Dari guru saya, orang alim,” sahut sang haji.
                “Dari orang alim itu katamu? Mengapa engkau tidak menjaga adab dengan membiarkan orang alim itu masuk surga terleih dahulu?”
                Haji itupun mundur menginsyafi kekeliruannya. Sesudah itu maju pula orang kaya yang dermawan, yang sebagian banyak hartanya disedekahkan di jalan kebaikan.
                “Engkau ingin yang pertama masuk surga? “Tanya jibril
                “Benar. Saya mau masuk surga duluan, karena itu merupakan hak saya.”
                “Apa yang kamu lakukan di dunia ketika engkau masih hidup hingga punya argumen seperti itu?” tanya Jibril lagi.
                “Saya adalah seorang hartawan. Kekayaan saya itu saya dapatkan melalui jalan yang halal, saya pperoleh dengan kerja keras dan berhemat. Tetapi, sesudah terkumpul banyak, harta saya tidak saya pergunakan secara foya-foya di tempat maksiat, dan tidak juga hanya saya belanjakan untuk diri sendiri serta keluarga saya, tetapi sebagian besar saya belanjakan untuk menolong masyarakat, untuk menunjang kebaikan dan berjuang di jalan Allah.”
                “Dari siapa engkau mendapat tahu bahwa semua yang kau lakukan itu akan di ganjar dengan masuk surga tanpa diperiksa?” tanya Jibril dengan tegas
                “Dari orang alim, guru saya” Jawab si hartawan
                “Dari orang alim?”
                “Betul.”
                “Jadi, kenapa orang alim yang sudah mengajarimu dengan kebaikan dan kebenaran tidak kau biarkan masuk surga lebih dahulu sebagai tanda terima kasihmu kepadanya?”
                “maaf, saya tadi khilaf. Sekarang saya sadar. Saya rela masuk surga paling belakang. Biarlah yang alim itu masuk surga.”
                “Nah, begitulah sepatutnya,” Ujar Malaikat Jbril.
                Maka orang kaya itu segera mundur dan orang ali itu di persilahkan masuk surga lebih dahulu. Namun dasar orang yang salih, ia tetap setya kepada ilmu yang di dalaminya, yaitu harus mengalah dan rendah hati. Dengan segala keikhlasanya orang alim  itu berkata:
                “Maaf, tuan-tuan dan maaf para malakat yang bijaksana. Sebagai guru dan orang alim yang salih saya tidak akan dapat belajar da mengajar dengan tenang apabila tidak ada pahlawan yang rela mati syahid. Saya tidak akan memperoleh pahala yang terus menerus jika murid saya yang haji ini tidak mengamalkan ilmu saya secara benar. Dan saya , pahlawan serta haji mabrur tidak akan dapat memperoleh keleluasaan beribadah serta mengajarkan ilmu saya apabila tidak ada kedermawanan orang kaya yang mau membiayai tentara berangkat perang, yang mau menyediakan kelapangan bagi perjalanan haji, yang mau membangun madrasah, tempat-tempat pengajian agama, penyantunan anak-anak yatim, serta macam-macam kebaikan lainnya. Semua itu mustahil terwujud apabila tidak ada orang kaya yang dermawan. Karena itu, biarlah orang kaya ini yang masuk kaya terlebih dahulu, disusul oleh pahlawan, kemudian haji mabrur, dan izinkanlah saya masuk surga paling penghabisan.”
                Akhirnya diputuskan oleh Malaikat Jibril sebagaimana yang di usulkan oleh orang alim itu, yakni hartawan yang dermawan itulah yang masuk surga terlebih dahulu.



Kisah Rasulullah dan buah limau


               
Suatu hari Rasulullah di datangi oleh wanita kafir. Ketika itu Rasulullah sedang bersama para sahabat. Wanita itu membawa beberapa buah limau sebagai hadiah untuk Rasulullah.
                “Cantik sekali buahnya, siapa yang melihat pasti terliur” (Ucap Baginda Rasulullah sambil menerima buahnya dan memberikan senyuman gembira)
                Buah itu di makan Rasulullah SAW seulas demi seulas dengan tersenyum.
Biasanya Rasulullah akan makan dengan para sahabat, namun kali ini tidak.
Tidak seulaspun limau itu diberikan kepada para sahabat yang berada di belakang Rasulullah.
Rasulullah SAW terus saja makan. Terus makan, makan sambil tersenyum sampai semua buah limau itu habis.
Kemudian wanita itu meminta diri untuk pulang, diiringi ucapan terima kasih dari Rasulullah SAW.
Sahabat-sahabat Rasulullah agak heran dengan sikap Rasulullah itu. sampai akhirnya salah satu dari sahabat Rasulullah bertanya.
“Kenapa Baginda memakan semua buah limau itu sendirian?”
Dengan tersenyum Rasullah menjelaskan “Tahukah kamu, sebenarnya buah limau tadi rasanya terlalu masam semasa saya merasainya pertama kali, jika saya mengajak kalian makan bersama, saya bimbang ada di antara kalian yang akan mengenyatkan mata atau bahkan memarahi wanita tersebut. Jika itu terjadi saya takut hati wanita itu akan tersinggung, sebab itu saya habiskan semuanya.”
Begitulah akhlak Rasulullah, Baginda tidak akan memperkecil-kecilkan pemberian seseorang biarpun benda yang tidak baik, dan bukan dari orang Islam.
Dan wanita itu pulang dengan rasa kecewa. Mengapa?
Karena sebenarnya wanita itu bertujuan ingin mempermain-mainkan Rasulullah dan para sahabat Baginda dengan hadiah buah limau masam itu. tapi sayang rencana wanita itu gagal. Karena rencananya telah di tewaskan oleh akhlak mulia Rasulullah.


Mari cintai Baginda Rasulullah SAW dengan mencontoh akhlaknya.

Pendidikan , Sosial dan Budaya di Jepang



            Seorang Profesor asing yang mengajar di salah satu universitas di Tokyo pernah berkata bahwa sebetulnya orang jepang itu tidak terlalu pintar. Mereka tidak menonjol (poor) dalam penemuan atau penguasaan ilmu-ilmu sosial, tetapi genius dalam menerapkan ilmu sains dan teknologi. Diberikan contohnya bahwa penerima Hadiah Nobel dari jepang yang berjumlah 12 orang (tidak termasuk Nobel Perdamaian yang diterima PM Sato) umumnya di bidang eksakta. Jumlah ini katanya sama dengan yang dimiliki India atau negara kecil Belanda dan Belgia di Eropa.
            Pernyataan yang menggunakan tolok ukur demikian telah mengundang silang pendapat berbagai pihak. Namun semuanya berakhir dengan baik, karena MITI (Kmentrian Perdagangan Internasional dan Industri Jepang) sendiri mengakui bahwa mereka juga memakai tolak ukur tersebut dalam membandingkan hasil karya warganya dengan orang luar.
            Tidak lama kemudian muncul pernyataan mantan PM Nakasone yang kontroversial bahwa “Tingkat pendidikan orang Amerika tidak sebaik orang Jepang karena pengaruh Hitam, Hispanik, dan Minoritas lainnya”. Sudah bisa diduga berbagai protes gencar, terutama dari AS, ditujukan kepada mantan PM, dan sang PM pun memberikan argumen yang bisa dipertanggung jawabkan. Seperti kasus pertama tadi, polemik ini berakhir dengan baik karena sang PM menyesali ucapannya dan meminta maaf kepada pihak yang merasa tersinggung yang diakuinya sebagai Slip of The Tongue.
            Selanjutnya, majalah US News and Word Report pada edisi barunya melakukan studi tentang “daya adaptasi (dalam bentuk score) murid-murid sekolah lanjutan di negara adikuasa seperti AS, Uni Soviet, Jepang, Inggris, Jerman dan Prancis. Hasilnya menunjukan bahwa  siswa sekolah lanjutan di Jepang untuk bidang matematika dan sains adalah terbaik dibanding sekutu-sekutunya, sedangkan untuk bidang sosial dan bahasa (terutama bahasa asing) terendah di antara negara-negara di atas. Penemuan ini menguatkan argumen sang profesor di atas serta menghibur duka sang mantan PM Nakasone. Ternyata, kata orang-orang dan pendukung Nakasone bahwa mutu pendidikan SD sampai dengan SMA Jepang adalah salah satu yang terbaik di dunia.
            Jawaban Nakasone yang cukup simpatik di atas menunjukan ciri umum masyarakat Jepang yang modern tetapi tetap berlandaskan nilai-nilai tradisionalnya. Koreksi diri, toleransi, mandiri, tidak mau menang sendiri, tidak memaksakan kehendak sendiri, dan menghargai pendapat orang lain merupakan faktor yang sangat berperan dalam membangun untuk menjadi negara modern.
            Tulisan ini mencoba memberikan gambaran tentang masyarakat Jepang dari aspek pendidikan, sosial dan budaya yang isinya lebih banyak berdasarkan pengalaman empiris saat berada di tengah-tengah mereka, bergaul, dan bersekolah di sekolah mereka. Semacam grounded reseach yang tentu saja masih banyak kelemahannya karena keterbatasan penulis dalam penguasaan teori ilmu sosial dan budaya.
A.    ASPEK PENDIDIKAN
Lamanya pendidikan di jepang sama dengan kita, yaitu 6 tahun, 3 tahun, 3 tahun dan 4 tahun yang artinya 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA dan 4 tahun di college. Demikian pula dengan kurikulumnya yang relatif sama. Yang agak berbeda adalah penekanannya di mana SD di Jepang lebih di tekankan pada 3 K (Keisan, kaku dan kugo) atau 3 R (Arithmatic, writing and reading) atau jika di Indonesia 3 M (Matematika, membaca dan menulis) yang didukung oleh ilmu pengetahuan sosial (IPS) dan ilmu pengetahuan alam (IPA), serta olahraga. Selain itu, pelajarannya lebih banyak diberikan dalam bentuk visual dari pada teori, serta wajib belajar 9 tahun benar-benar diterapkan sehingga tidak ada seorang Jepangpun yang buta huruf. Atau dengan kata lain, pendidikan orang Jepang minimal SLTP karena jika ada anak Jepang dalam usia sekolah tidak sekolah, maka orang tuanya akan dihukum.
            Sejak kelas 1 SD, anak Jepang sudah dicekoki dengan motto “Negerimu ini miskin karena hanya memiliki batu dan air saja”. Motto itu membentuk jiwa anak Jepang menjadi keras dan pantang menyerah sehingga mereka harus belajar dan berusaha keras sejak kecil agar mereka tidak miskin. Tidak ada dalam benak mereka negerinya gemah ripah loh jinawi, tanah air kaya raya, nyiur melambai, kolam susu dan dongeng-dongeng kekayaan negerinya di masa lalu. Prinsip tertanam sejak kecil sehingga mereka terus berusaha, tidak malas, rasional, disiplin, dan sifat-sifat lainnya yang penuh tantangan sehingga mereka menjadi bangsa yang aktif, dinamis, optimis, dan ofensif. Prinsip-prinsip hidup dan keberhasilan mereka dalam membangun bangsanya bukanya tidak membawa masalah karena sikap yang aktif dan ofensif yang ditunjang oleh nasionalisme berlebihan menyeret mereka ke Perang Dunia II. Namun sesudah itu, mereka menata kembali perilakunya dan menyesuaikannya dengan kondisi yang ada. Sikap mereka tidak lagi disimbolkan dalam bentuk militer atau kekuatan otot seperti samurai, tetapi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasilnya cukup fantastik di mana Jepang sekarang merupakan satu-satunya negara ASIA yang berpredikat negara maju. Semuanya ini sebagai produk dari sistem pendidikannya yang ketat. Sementara pola hidup mereka yang “konsumtif” merupakan akibat keberhasilan ekonominya. Mereka benar-benar sudah mulus meniti tangga pembangunan ekonomi model Rostow. Tinggal landas sudah lama dilaluinya, yakni saat pemerintahan Meiji di akhir abad ke-19. Pengamat asing mengatakan bahwa ini terjadi akibat pengaruh luar yang masuk, teristimewa modernisasi dari Barat yang mencakup hampir di semua bidang kehidupan.
            Dampak lainnya adalah rapuhnya nilai-nilai agama. Hasil suatu studi menunjukkan bahwa rata-rata agama yang dimiliki setiap orang di Jepang adalah lebih dari dua agama. Mereka saat dilahirkan atau meninggal adalah seorang Shinto atau Budha, tetapi saat kawin atau bertahun baru adalah seorang katolik. Seorang sosiolog Jepang sendiri mengatakan bahwa orang Jepang mempunyai agama sebagai sendi kehidupannya, tetapi mereka memiliki norma-norma sosial yang tradisional, yakni sifat samurai. Problem terakhir ini mungkin menjadi masalah bagi negara-negara yang mengutamakan “keseimbangan sekarang dan kelak”. Tetapi masalah ini tampaknya bukan hanya dihadapi Jepang saja, tetapi juga negara-negara lainnya.


Yogyakarta, 12 September 2015

Sabtu, 12 September 2015

Fakta hari jumat

Jum'at Adalah Hari Pernikahan : - Nabi Adam dgn Hawa - Nabi Yusuf dgn Zulaikha - Nabi Sulaiman dgn Ratu Balqis - Rasulullah dgn Siti Aisyah

Jumat, 11 September 2015

Nasehat KH Abdul Wahab Chasbullah

"Tidak ada senjata yang lebih tajam dan lebih sempurna lagi selain persatuan." ~ KH Abdul Wahab Chasbullah (Magelang, 5 Juli 1939)

Rabu, 09 September 2015

Senin, 07 September 2015

Sajak kedamaian

MENEGUR jangan sampai MENGHINA
MENDIDIK jangan sampai MEMAKI
MEMINTA jangan sampai MEMAKSA
MEMBERI jangan sampai MENGUNGKIT

Kritik pendidikan Islam

Suatu ketika seorang Hukama berkata:
"Dulu kami menuntut ilmu di masjid-masjid, lalu sekolah-sekolahpun di buka, lalu hilanglah barakah. lalu di buatlah kursi-kursi untuk murid, maka hilanglah Tawaduk. dan kemudian diadakanlah ijazah, maka hilanglah keikhlasan.

Fase pengetahuan pada manusia menurut Al-Ghazali


                Dalam al-Munqidz, al-Ghazali menjelaskan suatu sisi dari epistemologinya, yang bisa diringkaskan sebagai berikut:
                Manusia dilahirkan dalam keadaan kosong dari ilmu pengetahuan tentang segala macam yang wujud. Mula-mula Tuhan ciptakan di dalam dirinya kekuatan indera untuk memperoleh pengetahuan yang bisa di capainya dengan indera tersebut. Dalam fase kedua, diciptakan pula oleh Tuhan kekuatan “tamyiz”, yaitu kemampuan untuk membeda-bedakan, sehingga manusia bisa memperoleh pengetahuan yang lebih dari pengetahuan yang bisa di capai indera. Selanjutnya, dalam fase ketiga, manusia diberi Tuhan akal yang berkemampuan untuk memberikan kepada manusia pengetahuan-pengetahuan yang tak bisa diperoleh dalm fase-fase sebelumnya. Dan sesudah fase ini, manusia di beri pula oleh Tuhan suatu potensi lewat mata hatinya untuk bisa mengetahui hal-hal yang tak bisa dicapai oleh akal atau dalam fase-fase sebelumnya. Fase inilah yang disebut al-nubuwwah (kenabian).

hal 128

Fatwa senin

1. Jadi orang Indonesia dituntut lucu. Sebab di sini, selebriti dipanggil ustaz sementara kiai dituduh sesat, hanya karena beda pendapat.

2. Hidup di Indonesia harus cerdas. Sebab di sini orang baru tahu Islam dijadikan panutan, sementara ahli tafsir dituduh kafir.

"LILIN Si Kabayan" (Kisah Humor)


Iteng : "Akang, Iteng Alhamdulillah sudah telat sebulan, kita bakal punya bayi".
Kabayan : "Tapi jangan bilang2 ke orang lain dulu yaa... takut tidak jadi ... nanti malu2in".
Besoknya tukang tagih dari PLN ketuk pintu, begitu dibuka, tukang tagih ngomong
Petugas PLN : "Bu, ibu telat sebulan"
Iteng : "Dari mana Bapak tahu ?".
Petugas PLN : "Kan ini ada catatannya di PLN "
Iteng : "Haaah..., masa sampe di catat di PLN ???!!!
Besoknya Si_Kabayan pergi ke kantor PLN sambil marah2. ðŸ˜¡ðŸ˜¡
Kabayan : "Bagaimana mungkin PLN sampe bisa tahu kalau istri saya telat sebulan ?"
Petugas PLN : "Sabar Pak, Kalau Bapak mau catatannya dihapus, Bapak tinggal bayar kpd kami ".
Kabayan : "Kalau saya tidak mau bayar ?".
Petugas PLN : "Punya Bapak, akan kami putusin".
Kabayan : "Giiillaa...., punya saya mau diputusin??
Kalo istri saya di rumah lg pengen, terus pake apa ???".
Petugas PLN : "Yaa, terpaksa pake LILIN ......! !!???
Kabayan : "Dasar PLN

Minggu, 06 September 2015

JEJAK SEMANGAT SEORANG HAAFIZHOH YANG MENGIDAP TUMOR OTAK

Langit malam itu tidak lagi sendiri
Ada bulan yang menemani
Menyapa dan memotivasi
Melengkapi indahnya karunia Ilahi
Dalam sisi hidup seorang ukhti
Ana jadi teringat cerita yang ana sampaikan dalam tausyiah rapat umum Tutorial juma’at, 20 September 2012. Kisah yang belum mampu ana bagi dengan begitu sempurna namun sempat membuat ana berlinang air mata membaca pengalaman seorang Ukhti, dalam sakit tumor otak ia mampu meluangkan waktu dan begitu bertekad kuat mengkhatamkan hafalannya sebelum ajal menjemput.SubhanaAllah..
Aminah menuturkan, “Aku adalah wanita yang dulu kuduga bahwa diriku sudah meninggal sebelum lahir. Karena saya menghadapi beberapa musibah yang beragam dalam hidupku. Sesuatu yang tidak terbayangkan dalam benak.
Namun, alhamdulillah, keyakinanku pada Allah semakin kuat. Saat saya bingung memaknai kehidupan sekelilingku, saya berserah kepada-Nya. Saya mengidap penyakit tumor otak. Tidak terlalu buruk, tapi penyakit itu mengerikan. Penanganan terus dilakukan, namun tidak ada tanda-tanda baik selama empat tahun.
Terakhir kali saya mengunjungi dokter, mataku merasakan dunia tampak gelap disebabkan akhir pemvonisan. Kabar yang selamanya tidak menyenangkan. Lalu, saya putuskan untuk menghafal Al-qur’an. Berniat menghafalnya sebelum saya mati, karena saya merasa ajalku telah dekat.
Aku memulai hafalan sendiri. Kadang semangatku melemah, karena saya yakin memaksakan otak dengan hafalan bisa menambah ganasnya penyakit. Namun saya tetap memuji Allah siang malam karenanya. Saya terus menyelesaikan setiap juz, ada kebahagiaan terbesar saat menyelesaikannya. Perasaan senang melupakan penyakitku, sekalipun saya juga sibuk dengan membantu Ayah-ibu.
Keinginan untuk tidur selalu menyerangku namun saya khawatir waktuku akan habis percuma. Maka saya berserah diri pada Allah. Segenap diriku yakin akan terjauh dari setan. Dan saya mengalahkannya dengan memperbanyak wudhu, banyak bergerak, pantang mundur, saya tetap menghafal dan tetap meminta bantuan Allah dengan shalat dan istigfar.
Tangisku tiba-tiba mengucur deras, merasa dalam waktu dekat saya akan mati. Karena itu, saya harus menghafal Al-qur’an sampai bertemu Allah dengan kitab-Nya, mudah-mudahan Dia mengampuniku. Aku sempurnakan perjalanan hafalan. Saya berpindah dari halaman ke halaman dan dari baris ke baris. Pada saat bersamaan saya melawan sakit, melawan bisikan setan dan nafsuku sendiri.
Tapi, dengan apa saya menghadap Allah robbil alamin? saya mengharap penolong.. saya ingin penghibur dalam kuburku. Kubur itu sunyi. Jika semangatku melemah, dengan cara apa saya berbakti kepada kedua orangtuaku, saya berharap memuliakan mereka di Hari Kiamat dengan mahkota. Bukankah mereka begitu memperhatikan sakit yang saya derita? Begitulah, saya juga selalu teringat perkataan malaikat nanti, “Bacalah dan naiklah,” Maka tinggi dan luhurlah niatku.
Saya sempurnakan perjalanan hafalan.. hari-hari berlalu, sedang saya bersungguh-sungguh, sampai akhirnya datang malam khataman. saya putuskan untuk tidak tidur sebelum menghafal. Saya berwudhu, lalu shalat dua rakaat, dan mulai menghafal. Dan pada malam itu dengan karunia-Nya, Allah membuka pintu hatiku lebar-lebar. Saya menghafal dengan puncak konsentrasi dan kebahagiaan. sampai saya mencapai kemuliaan hafalan..dan akhirnya, tampak olehku surat an-Nas, Ya Allah.. Akhirnya saya sampai.. di sini saya mengucurkan airmata yang belum pernah terasa manis sebelumnya. Lalu saya menangis dari relung hati terdalam. Saya telah hafal sebagaimana orang yang diajukan untuk mendengar di depan malaikat dan pemimpin orang-orang syahid. Kematian terbayang olehku terasa dekat. Tapi perasaanku tidak seperti dulu lagi, sekarang saya merasa senang, karena akan bertemu dengan-Nya sedang saya telah menghafal kitab-Nya.
Selang beberapa hari, saya pergi mengobservasi analisa tumor. Dan saya sudah dalam keadaan bersiap-siap menerima musibah, penyakit saya semakin parah. Namun saya ditimpa shock yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dokter keluar mengabari hasil analisis. Dokter tampak tercengang. Mereka berkumpul untuk menguatkan apa yang dilihat pada sinar-X. Saya duduk sambil berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah musibahku. Dan gantilah yang lebih baik.”
Menit berlalu bagaikan tahun. saya merasa down saat dokter mulai mengabari hasilnya. Dan, saya terperanjat shock saat dokter bilang, “SubhanaAllah…, engkau sudah sembuh sempurna dengan proporsi tujuh puluh persen!
Allahu Akbar… Allahu Akbar..
Ya Allah, alangkah Agungnya berita ini, saya yang mengharap kemajuan satu persen saja, namun Engkau ganti lebih. seketika itu saya menangis dengan tangisan yang belum pernah kulakukan sebelumnya dalam hidupku. Maha benar firman-Nya, “Dalam Al-Qur’an ada penyembuh bagi manusia.”
SubhanaAllah… Allah Maha Segalanya yang bahkan manusia pun tidak bisa memutuskan akan hidup seseorang jika Allah berkehendak ia belum saatnya bertemu dengan Rabb-nya..! Ini nyata dialami oleh Aminah Al-Mi’thowi.
Ini salah satu kisah perjalanan para penghafal Al-qur’an (Dalam buku yang berjudul “Kisahku dalam Menghafal Al-qur’an”).
Penulis Muna Said Ulaiwah.

KISAH GUS DUR

Di akhir tahun 1998 Gus Dur rawuh (datang) di Wonosobo. Saat itu sedang ramainya era reformasi, beberapa bulan setelah Pak Harto jatuh. Dan ini terjadi beberapa bulan sebelum Gus Dur menjadi orang nomer satu di Negeri ini. Beliau masih menjabat sebagai Ketua PBNU.

Bertempat di Gedung PCNU Wonosobo, Gus Dur mengadakan pertemuan dengan pengurus NU dari Wonosobo, Banjarnegara, Pubalingga, Kebumen, Temanggung dan Magelang. Tentu saja semua kiai ingin tahu pendapat Gus Dur tentang situasi politik terbaru. Penulis hadir di situ walaupun bukan kiai, dan duduk persis di depan Gus Dur. Penulis lah yang menuntun Gus Dur menaiki Lantai 2 PCNU Wonosobo.

“Pripun Gus situasi politik terbaru?” tanya seorang kiai.

“Orde Baru tumbang, tapi Negeri ini sakit keras.” kata Gus Dur.

“Kok bisa Gus?” 

“Ya bisa, wong yang menumbangkan Orde Baru pakainya emosi dan ambisi tanpa perencanaan yang jelas. Setelah tumbang mereka bingung mau apa, sehingga arah reformasi gak genah. Bahkan Negeri ini di ambang kehancuran, di ambang perang saudara. Arah politik Negeri ini sedang menggiring Negeri ini ke pinggir jurang kehancuran dan separatisme. Lihat saja, baru berapa bulan Orde Reformasi berjalan, kita sudah kehilangan propinsi ke-27 kita, yaitu Timor Timur.” kata Gus Dur.

Kiai tersebut sebagaimana biasa, kalau belum mulai bicara. Pak Habibi, kita semua akan merasa kasihan dengan sikap Gus Dur yang datar dan seperti capek sekali dan seperti aras-arasen bicara. Tapi kalau sudah mulai, luar biasa memikat dan ruangan jadi sepi kayak kuburan, tak ada bunyi apapun selain pangendikan Gus Dur.

Seorang kiai penasaran dengan calon presiden devinitif pengganti Pak Habibi yang hanya menjabat sementara sampai sidang MPR. Ia bertanya: “Gus, terus siapa yang paling pas jadi Presiden nanti Gus?” 

“Ya saya, hehehe…” kata Gus Dur datar.

Semua orang kaget dan menyangka Gus Dur guyon seperti biasanya yang memang suka guyon.

“Yang bisa jadi presiden di masa seperti ini ya hanya saya kalau Indonesia gak pingin hancur. Dan saya sudah dikabari kalau-kalau saya mau jadi presidan walau sebentar hehehe...” kata Gus Dur mantab.

“Siapa yang ngabari dan yang nyuruh Gus?” tanya seorang kiai.

“Gak usah tahu. Orang NU tugasnya yakin saja bahwa nanti presidennya pasti dari NU,” kata Gus Dur masih datar seperti guyon.

Orang yang hadir di ruangan itu bingung antara yakin dan tidak yakin mengingat kondisi fisik Gus Dur yang demikian. Ditambah lagi masih ada stok orang yang secara fisik lebih sehat dan berambisi jadi presiden, yaitu Amin Rais dan Megawati. Tapi tidak ada yang berani mengejar pertanyaan tentang presiden RI.

Kemudian Gus Dur menyambung: “Indonesia dalam masa menuju kehancuran. Separatisme sangat membahayakan. Bukan separatismenya yang membahayakan, tapi yang memback up di belakangnya. Negara-negara Barat ingin Indonesia hancur menjadi Indonesia Serikat, maka mereka melatih para pemberontak, membiayai untuk kemudian meminta merdeka seperti Timor Timur yang dimotori Australia.”

Sejenak sang Kiai tertegun. Dan sambil membenarkan letak kacamatanya ia melanjutkan: “Tidak ada orang kita yang sadar bahaya ini. Mereka hanya pada ingin menguasai Negeri ini saja tanpa perduli apakah Negeri ini cerai-berai atau tidak. Maka saya harus jadi presiden, agar bisa memutus mata rantai konspirasi pecah-belah Indonesia. Saya tahu betul mata rantai konspirasi itu. RMS dibantu berapa Negara, Irian Barat siapa yang back up, GAM siapa yang ngojok-ojoki, dan saya dengar beberapa propinsi sudah siap mengajukan memorandum. Ini sangat berbahaya.”

Kemudiaan ia menarik nafas panjang dan melanjutkan: “Saya mau jadi presiden. Tetapi peran saya bukan sebagai pemadam api. Saya akan jadi pencegah kebakaran dan bukan pemadam kebakaran. Kalau saya jadi pemadam setelah api membakar Negeri ini, maka pasti sudah banyak korban. Akan makin sulit. Tapi kalau jadi pencegah kebakaran, hampir pasti gak akan ada orang yang menghargainya. Maka, mungkin kalaupun jadi presiden saya gak akan lama, karena mereka akan salah memahami langakah saya.”

Seakan mengerti raut wajah bingung para kiai yang menyimak, Gus Dur pun kembali selorohkan pemikirannya. “Jelasnya begini, tak kasih gambaran,” kata Gus Dur menegaskan setelah melihat semua hadirin tidak mudeng dan agak bingung dengan tamsil Gus Dur.

“Begini, suara langit mengatakan bahwa sebuah rumah akan terbakar. Ada dua pilihan, kalau mau jadi pahlawan maka biarkan rumah ini terbakar dulu lalu datang membawa pemadam. Maka semua orang akan menganggap kita pahlawan. Tapi sayang sudah terlanjur gosong dan mungkin banyak yang mati, juga rumahnya sudah jadi jelek. Kita jadi pahlawan pemyelamat yang dielu-elukan.”

Kemudian lanjutnya: “Kedua, preventif. Suara langit sama, rumah itu mau terbakar. Penyebabnya tentu saja api. Ndilalah jam sekian akan ada orang naruh jerigen bensin di sebuah tempat. Ndilalah angin membawa sampah dan ranggas ke tempat itu. Ndilallah pada jam tertentu akan ada orang lewat situ. Ndilalah dia rokoknya habis pas dekat rumah itu. Ndilalalah dia tangan kanannya yang lega. Terus membuang puntung rokok ke arah kanan dimana ada tumpukan sampah kering.”

Lalu ia sedikit memajukan duduknya, sambil menukas: “Lalu ceritanya kalau dirangkai jadi begini; ada orang lewat dekat rumah, lalu membuang puntung rokok, puntung rokok kena angin sehingga menyalakan sampah kering, api di sampah kering membesar lalu menyambar jerigen bensin yang baru tadi ditaruh di situ dan terbakarlah rumah itu.”

“Suara langit ini hampir bisa dibilang pasti, tapi semua ada sebab-musabab. Kalau sebab di cegah maka musabab tidak akan terjadi. Kalau seseorang melihat rumah terbakar lalu ambil ember dan air lalu disiram sehingga tidak meluas maka dia akan jadi pahlawan. Tapi kalau seorang yang waskito, yang tahu akan sebab-musabab, dia akan menghadang orang yang mau menaruh jerigen bensin, atau menghadang orang yang merokok agar tidak lewat situ, atau gak buang puntung rokok di situ sehingga sababun kebakaran tidak terjadi.”

Sejenak semua jamaah mangguk-mangguk. Kemudian Gus Dur melanjutkan: “Tapi nanti yang terjadi adalah, orang yang membawa jerigen akan marah ketika kita cegah dia naruh jerigen bensin di situ: “Apa urusan kamu, ini rumahku, bebas dong aku naruh di mana?” Pasti itu yang akan dikatakan orang itu.”

“Lalu misal ia memilih menghadang orang yang mau buang puntung rokok agar gak usah lewat situ, Kita bilang: “Mas, tolong jangan lewat sini dan jangan merokok. Karena nanti Panjenengan akan menjadi penyebab kebakaran rumah itu.” Apa kata dia: “Dasar orang gila, apa hubungannya aku merokok dengan rumah terbakar? Lagian mana rumah terbakar?! Ada-ada saja orang gila ini. Minggir! saya mau lewat.”

Kini makin jelas arah pembicaraannya dan semua yang hadir makin khusyuk menyimak. “Nah, ini peran yang harus diambil NU saat ini. Suara langit sudah jelas, Negeri ini atau rumah ini akan terbakar dan harus dicegah penyebabnya. Tapi resikonya kita tidak akan popular, tapi rumah itu selamat. Tak ada selain NU yang berpikir ke sana. Mereka lebih memilih: “Biar saja rumah terbakar asal aku jadi penguasanya, biar rumah besar itu tinggal sedikit asal nanti aku jadi pahlawan maka masyarakat akan memilihku jadi presiden.”

“Poro Kiai ingkang kinormatan.” kata Gus Dur kemudian. “Kita yang akan jadi presiden, itu kata suara langit. Kita gak usah mikir bagaimana caranya. Percaya saja, titik. Dan tugas kita adalah mencegah orang buang puntung rokok dan mencegah orang yang kan menaruh bensin. Padahal itu banyak sekali dan ada di banyak negara. Dan pekerjaan itu secara dzahir sangat tidak popular, seperti ndingini kerso. Tapi harus kita ambil. Waktu yang singkat dalam masa itu nanti, kita gak akan ngurusi dalam Negeri.”

“Kita harus memutus mata rantai pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka di Swiss, kita harus temui Hasan Tiro. Tak cukup Hasan Tiro, presiden dan pimpinan-pimpinan negara yang simpati padanya harus didekati. Butuh waktu lama,” lanjut Gus Dur.

“Belum lagi separatis RMS (Republik Maluku Sarani) yang bermarkas di Belanda, harus ada loby ke negara itu agar tak mendukung RMS. Juga negara lain yang punya kepentingan di Maluku,” kata Gus Dur kemudian.

“Juga separatis Irian Barat Papua Merdeka, yang saya tahu binaan Amerika. Saya tahu anggota senat yang jadi penyokong Papua Merdeka, mereka membiayai gerakan separatis itu. Asal tahu saja, yang menyerang warga Amerika dan Australia di sana adalah desain mereka sendiri.”

Kemudian Gus Dur menarik nafas berat, sebelum melanjutkan perkataan berikutnya. “Ini yang paling sulit, karena pusatnya di Israel. Maka, selain Amerika saya harus masuk Israel juga. Padahal waktu saya sangat singkat. Jadi mohon para kiai dan santri banyak istighatsah nanti agar tugas kita ini bisa tercapai. Jangan tangisi apapun yang terjadi nanti, karena kita memilih jadi pencegah yang tidak populer. Yang dalam Negeri akan diantemi sana-sini.”

Sekonyong beliau berdiri, lalu menegaskan perkataan terakhirnya: “NKRI bagi NU adalah Harga Mati!”

“Saya harus pamit karena saya ditunggu pertemuan dengan para pendeta di Jakarta, untuk membicarakan masa depan negara ini. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” tutup Gus Dur.

Tanpa memperpanjang dialog, Gus Dur langsung pamit. Kita bubar dengan benak yang campur-aduk, antara percaya dan tidak percaya dengan visi Gus Dur. Antara realitas dan idealitas, bahwa Gus Dur dengan sangat tegas di hadapan banyak kiai bahwa dialah yang akan jadi presiden. Terngiang-ngiang di telinga kami dengan seribu tanda tanya.

Menghitung peta politik, rasanya gak mungkin. Yang terkuat saat itu adalah PDIP yang punya calon mencorong Megawati putri presiden pertama RI yang menemukan momentnya. Kedua, masih ada Partai Golkar yang juga Akbar Tanjung siap jadi presiden. Di kelompok Islam modern ada Amien Rais yang juga layak jadi presiden, dan dia dianggap sebagian orang sebagai pelopor Reformasi.

Maka kami hanya berpikir bahwa, rasional gak rasional, percoyo gak percoyo ya percoyo aja apa yang disampaikan Gus Dur tadi. Juga tentang tamsil rumah tebakar tadi. Sebagian besar hadirin agak bingung walau mantuk-mantuk karena gak melihat korelasinya NU dengan jaringan luar negeri.

Sekitar 3 bulan kemudian, Subhanallah… safari ke luar ternyata Gus Dur benar-benar jadi Presiden. Dan Gus Dur juga benar-benar bersafari ke luar negeri seakan maniak plesiran. Semua negara yang disebutkan di PCNU Wonosobo itu benar-benar dikunjungi. Dan reaksi dalam negeri juga persis dugaan Gus Dur saat itu bahwa Gus Dur dianggap foya-foya, menghamburkan duit negara untuk plesiran. Yang dalam jangka waktu beberapa bulan sampai 170 kali lawatan. Luar biasa dengan fisik yang (maaf) begitu, demi untuk sebuah keutuhan NKRI.

Pernah suatu ketika Gus Dur lawatan ke Paris (kalau kami tahu maksudnya kenapa ke Paris). Dalam negeri, para pengamat politik dan politikus mengatakan kalau Gus Dur memakai aji mumpung. Mumpung jadi presiden pelesiran menikmati tempat-tempat indah dunia dengan fasilitas negara.

Apa jawab Gus Dur: “Biar saja, wong namanya wong ora mudeng atau ora seneng. Bagaimana bisa dibilang plesiran wong di Paris dan di Jakarta sama saja, gelap gak lihat apa-apa, koq dibilang plesiran. Biar saja, gitu aja koq repot!”

Masih sangat teringat bahwa pengamat politik yang paling miring mengomentrai lawatan Gus Dur sampai masa Gus Dur lengser adalah Alfian Andi Malarangeng, mantan Menpora. Tentu warga NU gak akan lupa sakit hatinya mendengar ulasan dia. Sekarang terimalah balasan dari Tuhan.

Satu-satunya pengamat politik yang fair melihat sikap Gus Dur, ini sekaligus sebagai apresiasi kami warga NU, adalah Hermawan Sulistyo, atau sering dipanggil Mas Kiki. terimakasih Mas Kiki.

Kembali ke topik. Ternyata orang yang paling mengenal sepak terjang Gus Dur adalah justru dari luar Islam sendiri. Kristen, Tionghoa, Hindu, Budha dll. mereka tahu apa yang akan dilakukan Gus Dur untuk NKRI ini. Negeri ini tetap utuh minus Timor Timur karena jasa Gus Dur. Beliau tanpa memikirkan kesehatan diri, tanpa memikirkan popularitas, berkejaran dengan sang waktu untuk mencegah kebakaran rumah besar Indonesia.

Dengan resiko dimusuhi dalam negeri, dihujat oleh separatis Islam dan golongan Islam lainnya, Gus Dur tidak perduli apapun demi NKRI tetap utuh. Diturunkan dari kursi presiden juga gak masalah bagi beliau walau dengan tuduhan yang dibuat-buat. Silakan dikroscek data ini. Lihat kembali keadaan beberapa tahun silam era reformasi baru berjalan, beliau sama sekali gak butuh gelar “Pahlawan"