Hari ini aku mengawali pagi
dengan rasa bimbang yang mengusik hati. Apakah aku harus berangkat ke kampus
atau tidak, karena hari ini memang teman-temanku di salah satu UKM yang aku
ikuti sudah merencanakan untuk melakukan demonstrasi besar-besaran bersama
berbagai organisasi. Apalagi kemaren dari kepolisian sendiri telah memberikan
izinnya untuk menggelar demonstrasi di pertigaan jalan di kampus kami. Sampai
akhirnya dengan tarikan nafas dan ucapan bismilah akupun memilih untuk pergi ke
kampus, tapi niatku untuk tidak mengikuti demonstrasi itu tetap aku jaga. Dan
berangkat pagi-pagi adalah salah satu caraku dalam menghindari ajakan
teman-temanku itu, walaupun surat izin sudah di buatkan oleh ketua di UKM yang
aku ikuti itu tapi semua itu tidak akan menggoyahkan kata hatiku ini.
Detik-detik keberangkatanku
menuju kampus menjadi detik-detik yang sangat menegangkan karena jika di kampus
nanti aku ketemu dengan salah satu temen yang akan mengikuti demonstrasi itu
pastilah aku akan di paksa untuk mengikuti juga. Namun kekhawatiranku itu mulai
sirna ketika sesampainya di kampus aku melihat suasanan kampus masih sepi, dan
walaupun pagi itu terlihat cerah tapi di dalam hati dan fikiran ini cuaca buruk
sedang berlalu. Setelah aku parkirkan sepedaku dengan sikap gugup aku langsung
menuju perpustakaan, aku sengaja memilih perpustakaan sebagai tempat
persembunyian karena aku merasa hampir tidak mungkin teman-temanku itu akan
mencariku sampai ke perpustakaan segala.
PERPUSTAKAAN UIN SUNAN KALIJAGA
Sinar
mentari mulai memperlihatkan keagungannya dalam menyinari bumi ini, seolah-olah
sedang memberi semangat kepadaku yang waktu sedang berdiri di parkiran depan
perpustakaan, karena memang sepagi itu perpustakaan belum di buka. Dan sampai
akhirnya perpustakaan itu di buka dan aku menjadi mahasiswa pertama yang
memasuki perpustakaan pada hari itu. Setiap langkah kaki ini menjadi bukti
perjuangan dalam mempertahankan prinsip yang sedang aku yakini. Suara hentakan
kaki dalam menaiki anak menuju lantai atas menjadi suara gaduh yang terdengar
meramaikan suasana. Tetap di lantai 4 tanpa ragu-ragu aku langsung menuju satu
meja yang akan aku jadikan sandaran ragaku ini dalam menjalani setiap detik di
hari ini. Heningnya suasana menjadi pendorong rasa kantuk yang mulai tak
tertahankan sampai akhirnya tidurpun menjadi satu-satunya pilihan.
Dek
,dek bangun (sapa penjaga perpustakaan sambil menepuk punggungku)
Owh
iya bu (terbangun sambil menahan rasa malu)
Kalau
mau tidur jangan disini (pesan penjaga perpustakaan itu)
Maaf
bu, ketiduran (sautku dengan cengar-cengir)
Kejadian itu menjadi tontonan
menarik bagi mahasiswa lain yang berada di sekitarku. Dengan rasa malu aku
berjalan ke toilet untuk mencuci muka. Setelah ku basuh muka ini tanpa sengaja
aku melihat jam dinding dan saking kagetnya ternyata jam telah menunjukan pukul
1 lebih. Gimana bisa tidur dari jam 9 pagi sampai jam 1 siang tanpa jeda iklan.
Keluar dari toilet aku langsung
berjalan cepat untuk keluar dari perpustakaan ini, sebenarnya aku sudah niat
untuk melihat demonstrasi hari ini mulai dari awal yaitu jam 10 pagi. Gedung
perpustakaan memang bersebelahan dengan pertigaan yang akn di gunakan sebagai
tempat para demonstran untuk berorasi. Karena antara pertigaan yang di gunakan
para demonstran untuk berorasi dengan perpustakaan hanya di pisahkan oleh pagar
tinggi nan besar. Nah di pagar tinggi nan besar itu lah aku mengamati para
demonstrasi pada waktu itu, walaupun berkali-kali di marahin sama scurity tapi
lama kelamaan si scurity itu agaknya mulai jenuh dengan sikapku ini.
PARA DEMONSTRAN
Berjam-jam aku mengamati proses demonstrasi
itu. dan seperti yang sudah aku duga demonstrasi kali ini pastilah akan diikuti
banyak masa. Tatapan mataku tiba-tiba di kagetkan oleh sesosok perempuan yang
sedang membacakan sumpah mahasiswa. tanpa aku sadari dan akupun sangat tidak
menyangka jika perempuan itu ternyata si silvi. Dari atas pagar wajah maupun
suaranya terlihat samar namun jaket yang ia pake menjadi keyakinanku semakin
menguat. Jaket itu adalah jaket yang aku pakekan ke silvi ketika dulu setelah
joging kita kehujanan. Rasa lapar yang menyapa waktu itu tidak mampu
menghentikanku dalam proses pengamatan yang sedang aku lakukan. Sampai akhirnya
rasa lapar itu berubah menjadi rasa was-was ketika para demonstran mulai
menutup jalan di pertigaan tersebut. Fokus mataku hanya tertuju kepada si silvi
karena pada saat itu sebagian dari para demonstran adalah laki-laki. Kemacetan
yang memanjangpun menjadi bukti kemarahan para demonstran namun tak lama
kemudan bagaika petir di siang bolong tiba-tiba banyak polisi datang dan mulai
merangsek mundur para demonstran yang sedang menutup jalan. Disitulah rasa
kekhawatiranku mulai membesar yang membuatku langsung turun dari pagar dan
berlari mendekat para demonstran. Aku tak berniat untuk mengikuti para
demonstran tersebut tapi rasa khawatirku kepada keselamatan silvilah yang
membuat aku berlari untuk menarik silvi dari kerusuhan itu. Asap pekat dari gas
air mata yang polisi berikan agar mahasiswa mundur menjadi pemandangan saat
itu, namun mahasiswapun membalas dengan lemparan batu. Lemparan batu yang mulai
mengotori jalan membuat polisi geram dan membalas lemparan batu yang di lakukan
para demonstran dengan semprotan air dari mobil water canen, yang membuat para
demonstrasi berlari mundur. Saat itulah aku justru berlari melawan arah mencari
silvi sampai akhirnya aku melihat dia sedang di sebelah pohon yang ada di
sebelah pohon dengan darah yang keluar dari tangan kirinya. Semprotan dari
mobil water canen tak ku hiraukan sampai akhirnya aku bisa mendekat menuju si
silvi yang sedang berlindung di samping.
Ayo cepat mundur (pesanku kepada
silvi)
Gak, gak mau (menahan rasa sakit
sambil menggelengkan kepalanya)
Tapi ini tanganmu berdarah
(ucapku sambil memegang tangannya)
Sudah Aku gapapa (jawab dia
dengan muka marah)
DEMONSTRANSI DI PERTIGAAN UIN
Tidak mau melanjutkan berdebatan
itu dan tanpa fikir panjang aku langsung menarik silvi mundur dari tempat itu.
Asap putih gas air mata yang mengepul menjadikan mata ini semakin perih. Namun
genggaman erat tanganku ke silvi tidak tergoyahkan, walaupun dia terus meronta
dan berteriak “lepasin” tapi aku tidak memperdulikannya. Dan aku melepaskan
genggaman tanganku setelah sampai di sebelah kantor scurity. Disitulah
kemarahan silvi mulai memuncak.
Aku kan sudah bilang lepasin,
kamu kok kasar banget (ucap dia dengan nada tinggi)
Ya maaf tapi kan...... (belum
sempat melanjutkan langsung memotong penjelasanku)
Tapi apa?, kalau kamu tidak suka
dengan caraku ini yaudah sana pergi (ucap silvi sambil mendorong dadaku)
Bukanya begitu, bentar dulu aku
jelasin (saut aku sambil menatapnya)
Udah cukup. Aku gak suka dengan
sikapmu ini (pesan silvi sesudah menamparku )
PARA PENDEMO VS MOBIL WATER CANNON
Itu adalah ucapan terakhir silvi
sebelum ia berlari kembali menuju para demonstran yang sedang saling serang
dengan polisi. Tamparan dia ke aku saat itu menjadi saksi bahwa niat baik
sekalipun tidak menjamin akan menghasilkan sesuatu yang kita harapkan bahkan
terkadang menghasilkan sesuatu yang sangat menyakitkan seperti yang aku rasakan
waktu itu. Jadi intinya dengan niat baik saja hasilnya belum baik apalagi niat
kita itu buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar