Jumat, 23 Januari 2015

Antara cinta dan benci (Part III)



Hari ini aku mengawali pagi dengan rasa bimbang yang mengusik hati. Apakah aku harus berangkat ke kampus atau tidak, karena hari ini memang teman-temanku di salah satu UKM yang aku ikuti sudah merencanakan untuk melakukan demonstrasi besar-besaran bersama berbagai organisasi. Apalagi kemaren dari kepolisian sendiri telah memberikan izinnya untuk menggelar demonstrasi di pertigaan jalan di kampus kami. Sampai akhirnya dengan tarikan nafas dan ucapan bismilah akupun memilih untuk pergi ke kampus, tapi niatku untuk tidak mengikuti demonstrasi itu tetap aku jaga. Dan berangkat pagi-pagi adalah salah satu caraku dalam menghindari ajakan teman-temanku itu, walaupun surat izin sudah di buatkan oleh ketua di UKM yang aku ikuti itu tapi semua itu tidak akan menggoyahkan kata hatiku ini.
Detik-detik keberangkatanku menuju kampus menjadi detik-detik yang sangat menegangkan karena jika di kampus nanti aku ketemu dengan salah satu temen yang akan mengikuti demonstrasi itu pastilah aku akan di paksa untuk mengikuti juga. Namun kekhawatiranku itu mulai sirna ketika sesampainya di kampus aku melihat suasanan kampus masih sepi, dan walaupun pagi itu terlihat cerah tapi di dalam hati dan fikiran ini cuaca buruk sedang berlalu. Setelah aku parkirkan sepedaku dengan sikap gugup aku langsung menuju perpustakaan, aku sengaja memilih perpustakaan sebagai tempat persembunyian karena aku merasa hampir tidak mungkin teman-temanku itu akan mencariku sampai ke perpustakaan segala. 


 
PERPUSTAKAAN UIN SUNAN KALIJAGA 
 
                Sinar mentari mulai memperlihatkan keagungannya dalam menyinari bumi ini, seolah-olah sedang memberi semangat kepadaku yang waktu sedang berdiri di parkiran depan perpustakaan, karena memang sepagi itu perpustakaan belum di buka. Dan sampai akhirnya perpustakaan itu di buka dan aku menjadi mahasiswa pertama yang memasuki perpustakaan pada hari itu. Setiap langkah kaki ini menjadi bukti perjuangan dalam mempertahankan prinsip yang sedang aku yakini. Suara hentakan kaki dalam menaiki anak menuju lantai atas menjadi suara gaduh yang terdengar meramaikan suasana. Tetap di lantai 4 tanpa ragu-ragu aku langsung menuju satu meja yang akan aku jadikan sandaran ragaku ini dalam menjalani setiap detik di hari ini. Heningnya suasana menjadi pendorong rasa kantuk yang mulai tak tertahankan sampai akhirnya tidurpun menjadi satu-satunya pilihan.
                Dek ,dek bangun (sapa penjaga perpustakaan sambil menepuk punggungku)
                Owh iya bu (terbangun sambil menahan rasa malu)
                Kalau mau tidur jangan disini (pesan penjaga perpustakaan itu)
                Maaf bu, ketiduran (sautku dengan cengar-cengir)

Kejadian itu menjadi tontonan menarik bagi mahasiswa lain yang berada di sekitarku. Dengan rasa malu aku berjalan ke toilet untuk mencuci muka. Setelah ku basuh muka ini tanpa sengaja aku melihat jam dinding dan saking kagetnya ternyata jam telah menunjukan pukul 1 lebih. Gimana bisa tidur dari jam 9 pagi sampai jam 1 siang tanpa jeda iklan.
Keluar dari toilet aku langsung berjalan cepat untuk keluar dari perpustakaan ini, sebenarnya aku sudah niat untuk melihat demonstrasi hari ini mulai dari awal yaitu jam 10 pagi. Gedung perpustakaan memang bersebelahan dengan pertigaan yang akn di gunakan sebagai tempat para demonstran untuk berorasi. Karena antara pertigaan yang di gunakan para demonstran untuk berorasi dengan perpustakaan hanya di pisahkan oleh pagar tinggi nan besar. Nah di pagar tinggi nan besar itu lah aku mengamati para demonstrasi pada waktu itu, walaupun berkali-kali di marahin sama scurity tapi lama kelamaan si scurity itu agaknya mulai jenuh dengan sikapku ini.

 
PARA DEMONSTRAN
 
Berjam-jam aku mengamati proses demonstrasi itu. dan seperti yang sudah aku duga demonstrasi kali ini pastilah akan diikuti banyak masa. Tatapan mataku tiba-tiba di kagetkan oleh sesosok perempuan yang sedang membacakan sumpah mahasiswa. tanpa aku sadari dan akupun sangat tidak menyangka jika perempuan itu ternyata si silvi. Dari atas pagar wajah maupun suaranya terlihat samar namun jaket yang ia pake menjadi keyakinanku semakin menguat. Jaket itu adalah jaket yang aku pakekan ke silvi ketika dulu setelah joging kita kehujanan. Rasa lapar yang menyapa waktu itu tidak mampu menghentikanku dalam proses pengamatan yang sedang aku lakukan. Sampai akhirnya rasa lapar itu berubah menjadi rasa was-was ketika para demonstran mulai menutup jalan di pertigaan tersebut. Fokus mataku hanya tertuju kepada si silvi karena pada saat itu sebagian dari para demonstran adalah laki-laki. Kemacetan yang memanjangpun menjadi bukti kemarahan para demonstran namun tak lama kemudan bagaika petir di siang bolong tiba-tiba banyak polisi datang dan mulai merangsek mundur para demonstran yang sedang menutup jalan. Disitulah rasa kekhawatiranku mulai membesar yang membuatku langsung turun dari pagar dan berlari mendekat para demonstran. Aku tak berniat untuk mengikuti para demonstran tersebut tapi rasa khawatirku kepada keselamatan silvilah yang membuat aku berlari untuk menarik silvi dari kerusuhan itu. Asap pekat dari gas air mata yang polisi berikan agar mahasiswa mundur menjadi pemandangan saat itu, namun mahasiswapun membalas dengan lemparan batu. Lemparan batu yang mulai mengotori jalan membuat polisi geram dan membalas lemparan batu yang di lakukan para demonstran dengan semprotan air dari mobil water canen, yang membuat para demonstrasi berlari mundur. Saat itulah aku justru berlari melawan arah mencari silvi sampai akhirnya aku melihat dia sedang di sebelah pohon yang ada di sebelah pohon dengan darah yang keluar dari tangan kirinya. Semprotan dari mobil water canen tak ku hiraukan sampai akhirnya aku bisa mendekat menuju si silvi yang sedang berlindung di samping.
Ayo cepat mundur (pesanku kepada silvi)
Gak, gak mau (menahan rasa sakit sambil menggelengkan kepalanya)
Tapi ini tanganmu berdarah (ucapku sambil memegang tangannya)
Sudah Aku gapapa (jawab dia dengan muka marah)


 
DEMONSTRANSI DI PERTIGAAN UIN

 
Tidak mau melanjutkan berdebatan itu dan tanpa fikir panjang aku langsung menarik silvi mundur dari tempat itu. Asap putih gas air mata yang mengepul menjadikan mata ini semakin perih. Namun genggaman erat tanganku ke silvi tidak tergoyahkan, walaupun dia terus meronta dan berteriak “lepasin” tapi aku tidak memperdulikannya. Dan aku melepaskan genggaman tanganku setelah sampai di sebelah kantor scurity. Disitulah kemarahan silvi mulai memuncak.
Aku kan sudah bilang lepasin, kamu kok kasar banget (ucap dia dengan nada tinggi)
Ya maaf tapi kan...... (belum sempat melanjutkan langsung memotong penjelasanku)
Tapi apa?, kalau kamu tidak suka dengan caraku ini yaudah sana pergi (ucap silvi sambil mendorong dadaku)
Bukanya begitu, bentar dulu aku jelasin (saut aku sambil menatapnya)
Udah cukup. Aku gak suka dengan sikapmu ini (pesan silvi sesudah menamparku )


 
PARA PENDEMO VS MOBIL WATER CANNON
 

Itu adalah ucapan terakhir silvi sebelum ia berlari kembali menuju para demonstran yang sedang saling serang dengan polisi. Tamparan dia ke aku saat itu menjadi saksi bahwa niat baik sekalipun tidak menjamin akan menghasilkan sesuatu yang kita harapkan bahkan terkadang menghasilkan sesuatu yang sangat menyakitkan seperti yang aku rasakan waktu itu. Jadi intinya dengan niat baik saja hasilnya belum baik apalagi niat kita itu buruk.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar