Bangun
karena rasa sakit. Huh kulihat jam sudah pukul 06.35 pagi, untung aku terjatuh
dari kursi ini. Gara-gara tadi malam nungguin klub kesukaanku maen, bukannya
bisa nonton malah ketiduran. Eh paginya malah jatuh. Melihat hp yang terjatuh
aku tersentak karena hari ini ternyata aku ada jadwal kuliah pukul 07.00.
sambil membenarkan sarung yang masih kupakai, aku berjalan dengan cekatan
keluar dari rumah untuk segera membeli sarapan. Warung Gudeg Bu Marto, ya itu
adalah tempat sarapan favoritku, bukan hanya jaraknya yang tidak terlalu jauh
dari tempat tinggalku tapi lebih dari itu dulu aku juga pernah kerja di warung
guedeg itu. walaupun hampir setiap hari aku sarapan Gudeg tapi rasa bosan tidak
pernah datang menyapa perutku untuk menerima sebungkus bubur dengan areh serta
telur separo. Ya itulah sarapan sehari-hariku.
Bergegas
berjalan menuju warung Bu Marto, aku berjalan tanpa memperhatikan pakeanku yang
masih lusuh karena bekas di pake buat tidur. Ya itu terpaksa aku lakukan karena
aku harus buru-buru berangkat ke kampus. Sesampainya di warung Gudeg Bu Marto
tak jauh dari pasar aku duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu panjang
yang sudah agak bungkuk ketika diduduki. Dalam kursi sambil aku menunggu,
datanglah nenek-nenek tua dengan sepeda yang dituntunnya. Ya di tuntun bukan di
naikin. Nenek itu adalah penjual koran bekas buat pembungkus makanan. Berjalan
melewati warung Gudegnya Bu Marto nenek yang berjalan tertaih itu mendapat
sautan panggilan pembeli.
“Tumbas
bu, tumbas” teriak salah satu pembantunya Bu Marto yang denga suara lantangnya
memanggil nenek penjual koran bekas itu. dengan kulit wajah yang sudah keriput
yang di hias dengan hijab kain lusuh, nenek penjual koran bekas itu memutar balikan
sepeda dengan koran bekasnya yang ia tuntun dengan pelan. “Pinten niku bu?”
(berapa itu bu) tanya mbak Lastri, pembantu Bu Marto . mbak lastri langsung
menurunkan tumpukan koran yang ada di sepeda si nenek itu satu per satu.
Memilih yang paling berat mbak lastri menimbang nimbang dengan tangannya yang masih
kuat. Nenek yang sudah renta hanya bisa pasrah apa yang dilakukan mbak lastri
yang sedang bersemangat memilih yang paling berat.
“Saiket Gangsal welas ewu” (satu ikat lima belas ribu) jawab
nenek itu. berdiri di samping trotoar tempat bu marto berjualan si nenek itu
menjawab pertanyaan dari mbak lastri yang sedang sibuk memilih koran bekas yang
akan di jadikan bungkus nasi gudeg. Tapi mendengar jawaban sang nenek mbak
lastri langsung terkaget.
“kok mahal banget bu” seru mbak lastri
“njeh mbak niku saiket gangsal kilo” (iya mbak, itu satu
ikutnya 5 kg).
Setelah mendengar jawaban dari sang nenek penjual koran
bekas itu ,bukan mengambil uang untuk membayar mbak lastri justru menyibukan
diri dengan mencuci piring bekas pelanggan gudeg bu marto. Entah apa yang ada
di fikirannya mbak lastri meninggalkan koran bekas yang tadi telah ia turunkan
satu persatu dari sepeda nenek penjual koran bekas tadi.
“5ribu saya ambil satu iket bu” singgung mbak lastri sambil
sibuk mencuci piring.
“mboten angsal mbak” (tidak bisa mbak) jawab sang nenek
penjual koran sambil menata kembali koran bekasnya ke sepeda yang tidak ada
standarnya.
“sekawan ewu mpun mbak” (yaudah sepuluh ribu mbak?) tambah
si nenek dengan nada datar sambil berharap koran yang tadi telah di turunkan
satu persatu ada yang mau di beli walaupun hanya satu ikat. Karena pada saat
itu mbak lastri adalah pelanggan pertamanya jadi masih banyak koran yang harus
si nenek itu bawa.
“ini bu 8ribu ya” selembar uang 5 ribu, selembar uang 2ribu
dan 2 recehan uang 500 rupiah yang mbak lastri ambil dari saku bajunya ia
sodorkan ke nenek yang sudah selesai menata kembali koran-koran yang tadi telah
di turunkan oleh mbak lastri.
“mboten mbak, sekawan ewu mpun pas” tidak mbak, 10 ribu
sudah pas” saut si nenek sambil menjaga keseimbangan sepeda yang tidak ada
standarnya itu.
Sampai akhirnya mbak lastri membawa piring-piring, sendok
dan gelas yang telah ia cuci ke dalam warung gudeg bu marto. Saat itu pulalah
ia tidak keluar lagi. Dan membiarkan si nenek pergi dengan tangan hampa tanpa
ada uang sepeserpun yang ia dapat setelah lamanya waktu yang harus nenek
berikan untuk melayani mbak lastri yang awalnya ingin membeli.
Melihat kejadian itu, aku yang duduk di kursi panjang di
samping pintu masuk warung gudegnya bu marto aku hanya bisa tercengang dan
bagaikan film-film di bioskop, kejadian itu sangat mengetuk hati kecilku yang
membuat batin ini berteriak “dunia ini sungguh kejam”.
Ahmad Ariefuddin
Yogyakarta 12 maret 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar