Sabtu, 21 Maret 2015

Dunia ini kejam



                Bangun karena rasa sakit. Huh kulihat jam sudah pukul 06.35 pagi, untung aku terjatuh dari kursi ini. Gara-gara tadi malam nungguin klub kesukaanku maen, bukannya bisa nonton malah ketiduran. Eh paginya malah jatuh. Melihat hp yang terjatuh aku tersentak karena hari ini ternyata aku ada jadwal kuliah pukul 07.00. sambil membenarkan sarung yang masih kupakai, aku berjalan dengan cekatan keluar dari rumah untuk segera membeli sarapan. Warung Gudeg Bu Marto, ya itu adalah tempat sarapan favoritku, bukan hanya jaraknya yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku tapi lebih dari itu dulu aku juga pernah kerja di warung guedeg itu. walaupun hampir setiap hari aku sarapan Gudeg tapi rasa bosan tidak pernah datang menyapa perutku untuk menerima sebungkus bubur dengan areh serta telur separo. Ya itulah sarapan sehari-hariku.
                Bergegas berjalan menuju warung Bu Marto, aku berjalan tanpa memperhatikan pakeanku yang masih lusuh karena bekas di pake buat tidur. Ya itu terpaksa aku lakukan karena aku harus buru-buru berangkat ke kampus. Sesampainya di warung Gudeg Bu Marto tak jauh dari pasar aku duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu panjang yang sudah agak bungkuk ketika diduduki. Dalam kursi sambil aku menunggu, datanglah nenek-nenek tua dengan sepeda yang dituntunnya. Ya di tuntun bukan di naikin. Nenek itu adalah penjual koran bekas buat pembungkus makanan. Berjalan melewati warung Gudegnya Bu Marto nenek yang berjalan tertaih itu mendapat sautan panggilan pembeli.
                “Tumbas bu, tumbas” teriak salah satu pembantunya Bu Marto yang denga suara lantangnya memanggil nenek penjual koran bekas itu. dengan kulit wajah yang sudah keriput yang di hias dengan hijab kain lusuh, nenek penjual koran bekas itu memutar balikan sepeda dengan koran bekasnya yang ia tuntun dengan pelan. “Pinten niku bu?” (berapa itu bu) tanya mbak Lastri, pembantu Bu Marto . mbak lastri langsung menurunkan tumpukan koran yang ada di sepeda si nenek itu satu per satu. Memilih yang paling berat mbak lastri menimbang nimbang dengan tangannya yang masih kuat. Nenek yang sudah renta hanya bisa pasrah apa yang dilakukan mbak lastri yang sedang bersemangat memilih yang paling berat.
“Saiket Gangsal welas ewu” (satu ikat lima belas ribu) jawab nenek itu. berdiri di samping trotoar tempat bu marto berjualan si nenek itu menjawab pertanyaan dari mbak lastri yang sedang sibuk memilih koran bekas yang akan di jadikan bungkus nasi gudeg. Tapi mendengar jawaban sang nenek mbak lastri langsung terkaget.
“kok mahal banget bu” seru mbak lastri
“njeh mbak niku saiket gangsal kilo” (iya mbak, itu satu ikutnya 5 kg).
Setelah mendengar jawaban dari sang nenek penjual koran bekas itu ,bukan mengambil uang untuk membayar mbak lastri justru menyibukan diri dengan mencuci piring bekas pelanggan gudeg bu marto. Entah apa yang ada di fikirannya mbak lastri meninggalkan koran bekas yang tadi telah ia turunkan satu persatu dari sepeda nenek penjual koran bekas tadi.
“5ribu saya ambil satu iket bu” singgung mbak lastri sambil sibuk mencuci piring.
“mboten angsal mbak” (tidak bisa mbak) jawab sang nenek penjual koran sambil menata kembali koran bekasnya ke sepeda yang tidak ada standarnya.
“sekawan ewu mpun mbak” (yaudah sepuluh ribu mbak?) tambah si nenek dengan nada datar sambil berharap koran yang tadi telah di turunkan satu persatu ada yang mau di beli walaupun hanya satu ikat. Karena pada saat itu mbak lastri adalah pelanggan pertamanya jadi masih banyak koran yang harus si nenek itu bawa.
“ini bu 8ribu ya” selembar uang 5 ribu, selembar uang 2ribu dan 2 recehan uang 500 rupiah yang mbak lastri ambil dari saku bajunya ia sodorkan ke nenek yang sudah selesai menata kembali koran-koran yang tadi telah di turunkan oleh mbak lastri.
“mboten mbak, sekawan ewu mpun pas” tidak mbak, 10 ribu sudah pas” saut si nenek sambil menjaga keseimbangan sepeda yang tidak ada standarnya itu.
Sampai akhirnya mbak lastri membawa piring-piring, sendok dan gelas yang telah ia cuci ke dalam warung gudeg bu marto. Saat itu pulalah ia tidak keluar lagi. Dan membiarkan si nenek pergi dengan tangan hampa tanpa ada uang sepeserpun yang ia dapat setelah lamanya waktu yang harus nenek berikan untuk melayani mbak lastri yang awalnya ingin membeli.
Melihat kejadian itu, aku yang duduk di kursi panjang di samping pintu masuk warung gudegnya bu marto aku hanya bisa tercengang dan bagaikan film-film di bioskop, kejadian itu sangat mengetuk hati kecilku yang membuat batin ini berteriak “dunia ini sungguh kejam”.

Ahmad Ariefuddin
Yogyakarta 12 maret 2015.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar