Pagi
ini seperti hari-hari biasa, aku bersama teman sebayaku mengayuh sepeda dengan
penuh keceriaan. Tak nampak di wajah kami rasa letih karena jarak yang cukup
jauh dari rumah sampai di sekolahan. Apalagi kami adalah siswa Sekolah Menengah
Pertama yang masih seumur jagung. Karena baru beberapa hari ini kami resmi
menjadi siswa di SMP yang berada di desa seberang. Ya di desa kami hanya ada TK
sama SD, jadi setelah lulus SD kami harus bersekolah di SMP yang jaraknya bisa
di katakan jauh, ditambah jalan yang sudah rusak. Aku, angga, dan kakak kelasku
yaitu Mas Ferdy, hampir setiap hari kami berangkat bersama. Aku boncenga dengan
mas ferdy dan si angga dengan sepedanya sendiri. Aku sama mas Ferdy mempunyai
aturan khusus, jika sudah di tengah-tengah perjalanan kami pasti berpindah
posisi, yang awalnya mas ferdy di depan setelah sampai di jembatan sungai –yang
di jadikan tanda perbatasan antar desa- aku pindah ke depan. Tradisi itu sudah
mendarah daging bagi semua siswa yang berboncengan seperti aku dengan mas ferdy.
Aku masih ingat itu.
***
Walaupun
aku sama angga beda kelas tapi setiap waktu istirahat tak sedikitpun aku hilang
dari pandangannya dan sebaliknya. Angga adalah teman seumuranku, rumahku
menghadap kerumahnya dan rumahnya mengahadap rumahku karena rumah kami hanya di
pisahkan oleh jalan. Apalagi dulu kami satu SD, hampir setiap hari aku dan
angga bersama. Tidur satu kamar, kadang tidur di rumahnya dia kadang tidur di
rumahku, bahkan di kelas pun kami selalu satu meja. Barulah di SMP ini aku dan
angga beda kelas. Hari ini semua siswa kelas satu di kumpulkan jadi satu di
ruangan laboratorium, karena hari bakal ada pelajaran komputer. Baru di tahun
inilah ada pelajaran komputer karena di tahun sebelumnya komputer belum ada. Di
pelajaran komputer ini aku bisa bernostalgia dengan angga, karena hanya di
pelajaran komputerlah semua kelas di jadiin satu. Sedangkan guru pelajarananya
sendiri belum ada, yang pada akhirnya di ganti oleh guru biologi. Karena hari
ini adalah hari pertama pelajaran komputer yang sudah aku tunggu-tunggu, di
tambah di pelaran inilah aku bisa duduk satu meja lagi sama angga. Akupun
bertingkah riang, aku duduk paling depan, tapi angga malah duduk tepat di
belakangku karena dia masuknya telat. Setelah guru mengucapkan salam tanpa rasa
peka aku justru membalikan tubuhku ke belakang ,mencoba ngobrol sama angga.
Sampai akhirnya seperti halnya petir di siang bolong, karena aku tidak
mendengarkan guru yang sedang bicara tepat di depanku. Karena aku sibuk ngobrol
dengan angga. Dengan tangan besarnya beliau menampar bagian bawah kupingku,
entah niatnya mungkin mau menampar pipiku tapi masih ingat rasa sakit itu, yatu
tepat di bagian bawah kupingku. Kejadian itu begitu cepat. Membuat semua siswa
diam dengan posisi duduk sempurna, sementara aku, yang semula senang karena
sedang asyik ngobrol dengan angga langsung menunduk, membisu, menahan sesuatu
yang tidak pernah aku sangka bakal menerpaku. Berjalannya detik seakan lama,
sang guru yang sebelumnya bicara dengan suara lantangnyapun tiba-tiba beruah menjadi
suara polos penuh kesalahan. Tapi yang pasti kejadian itu masih membekas di
benaku. Terlebih batinku.
Sekarang,
hampir enam tahun lebih kejadian itu berlalu. Dan membuatku mengerti bahwa
memang benar bahwa “seribu nasihat itu lebih buruk dari pada satu contoh”.
Artinya waktu itu aku yang masih duduk di kelas satu SMP lebih mudah menyimpan
apa yang telah guru lakukan dari pada yang ia ucapkan. Buat semua teman di
kelas pada waktu itu mungkin sudah lupa siapa yang dulu pernah di tampar sama
guru itu, tapi aku bocah yang di tampar oleh guru itu, jangannya wajah,
namanyapun masih aku ingat dengan jelas sampai sekarang.
***
Itulah
analogi pendidikan indonesia saat ini. Ibaratnya aku itu lapar ,bukanya di
kasih makan biar aku kenyang, aku malah di kasih teori resep memasak. Bahasa
sederhananya, apa yang di sampaikan guru itu terkadang sulit di pahami oleh
para siswanya. Kalau untuk menghafal mungkin hampir semua yang telah di
sampaikan guru, pasti semua siswa bisa melakukannya. Tapi pada dasarnya ilmu
itu untuk di pahami bukan untuk di hafal. Di tambah suasana dalam proses
pembelajaran yang menegangkan, Yang membuat para siswa justru tertekan. Aku
masih ingat dulu ada satu guru baru, namanya pak solikhin, beliau adalah guru
matematika , sebenarnya bukan guru baru juga, lebih tepatnya guru pengganti, karena beliau hanya
menggantikan guru sebelumnya yang sedang cuti hamil. Walaupun beliau mulai
mengajar di kelas tiga, sedangkan hampir teori dari kelas satu sampai kelas dua
aku masih kurang memahami, tapi karena cara pengajaran beliau yang berbeda dari
guru-guru yang lain, bukan hanya aku, temen yang lainpun sangat antusias
menerima setiap analogi pembelajaran yang beliau gunakan. Beliau mengajar
dengan gaya humoris, di selingi dengan canda yang membuat jiwa para siswa tidak
tertekan, disitulah ilmu mudah masuk. Dan satu kelebihan beliau yang masih aku
ingat, beliau sering mengajak siswanya keluar dari kelas, biasanya di tepi
lapangan yang suasananya sangat ngaman tidak seperti di kelas yang agak panas.
Beliau tidak membandingan satu siswa dengan siswa lainya, semisal gini ketika
ada satu siswa sudah bisa mengerjakan sebuah soal yang beliau berikan , tetapi
ada satu siswa yang belum bisa mengerjakan soal itu, beliau tidak mengatakan
“itu temenmu aja bisa masak kamu tidak”. Tapi beliau menilai dari kemampuan
individualnya, karena setiap invidu mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Jadi
beliau tidak menyama ratakan kemampuan siswa satu kelas itu. maka tak heran
jika absensi di pelajaran yang semula paling banyak alfanya setelah di ampu
oleh beliau pelajaran matematikalah yang hampir selalu full.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar