Yogyakarta
memang identik dengan “Gudeg” sebagai makanan khasnya. Tapi sayangnya sekarang
sudah malam jadi kalau harus makan gudeg aku harus berjalan lebih jauh. Selain Gudeg
yogyakarta pun memiliki makanan khas lainnya yaitu “Bakpia Pathok”. Bakpia sebenarnya
awalnya makanan khas dari warga cina yang tinggal di jogja, karena dulu bakpia
awalnya berisi daging babi. Namun karena banyak Muslim yang ingin menikmati
akhirnya isi dari bakpia pun di ganti dengan kacang ijo. Tapi aku berfikir
kalau malam-malam gini hanya makan bakpia mana bisa kenyang. Walaupun tak sulit
untuk bisa menemukan toko yang menjual bakpia tapi akhirnya aku menolak ideku
itu. sampai akhirnya di pinggir jalan, yaitu di atas troroar aku melihat warung
nasi goreng yang lumayan rame. Melihat motor yang berjajaran di pinggir warung
tersebut aku memberikan penilaian bahwa warung tersebut pasti enak. Gak mungking
warung tersebut bercita rasa gak enak tapi yang membeli banyak. Akupun langsung
menyebrang dan menuju warung nasi goreng tersebut.
Ada
satu meja dengan satu kursi panjang di sebelah meja dan satu kursi panjang di
sisi yang lainnya. Di sisi yang satu kursi tersebut sudah terisi penuh oleh
para pelanggan, sementara di satu kursi panjang yang satunya masih ada
kira-kira untuk di tempati dua orang. Dan disitulah aku duduk sebelum akhirnya
aku di datangi oleh ibu-ibu yang menanyakan apa yang mau aku pesan.
Pesan
apa pak ? (tanya si ibu sambil nyerahin daftar menu)
Nasi
goreng ya bu (jawabku dengan senyuman)
Mendengar
pertanyaan si ibu-ibu itu aku mencoba sabar. Entah kenapa umur 19 tahun seperti
ini sudah di panggil “Pak”. Mana manggilnya di hadapan para pelanggan yang
masih ramai-ramai lagi. Tapi tak apa , mungkin si ibu itu matanya sudah katarak
karena kebanyakan terkena cipratan minyak dari peggorengan nasi goreng. Aku si
positif thinking saja.
Sambil
menunggu pesananku. Sebagai pelanggan yang datang sendirian akupun dengan
bersikap jantan. Aku mengeluarkan hpku, yang kemudian aku pencet-pencet gak
jelas. Tidak apalah yang penting di hadapan keramaian aku tidak boleh kelihatan
lemah. Walaupun di depanku ada sepasang muda-mudi yang sedang mesra-mesraan, saling
ngobrol, saling tertawa. Tapi aku harus kelihat biasa-biasa saja menutupi ke
irianku melihat kemesraannya. Beberapa menit aku menunggu pesanan, dari luar
warung makan terdengar motor gede. Sampai akhirnya masuklah sesosok perempuan
kecina-cinaan, berkulit putih, ramputnya terurai, langkahnya tegap diiringi
minyak wanginya yang menggaruk-garung hidung, dan matanya yang sipit terus
menggoda pandanganku untuk terus menatapnya. Dan pada saat itu hanya ada satu
bagian untuk satu orang lagi tepat di sampingku, iapun langsung duduk di
sebelahkua. Dan sebagai lelaki jantan akupun mulai meluruskan tubuhku supaya
tegap seperti tiang listrik. Dan tak lupa sambil pura-pura otak-atik hp
walaupun sebenarnya Cuma nge-cek pulsa. Setidaknya di hadapan dia aku kelihatan
lelaki yang sedang sibuk.
Bagaikan
sudah jath tertimpa tangga. Belum juga aku sekedar menyapa wanita cantik di
sebelahku itu, atau sekedar menikmati wajah yang lebih indah dari bulan di
malam ini. Tiba-tiba masuklah sesosok lelaki pendek dan berwajah gak jelas. Rambutnya
gak rapi, giginya kuning, pake sendal jepit lagi, eh parahnya sendal jepitnya
beda warna dan beda bentuk. Entah sendal nemu di tempat sampah atau emang itu
lagi ngetren, yang jelas penampilan lelaki itu kalah keren dengan pemulung yang
fakir. Tapi bagai petir di siang bolong, lelaki gelap itu menyapa dengan mesra
perempuan cantik yang sedang mau aku sapa di sebelahku ini.
Sudah
pesan belum sayang? tanya si lelaki gelap kepada wanita cantik di sebelahku
Belum,
sana pesan gih (jawab si wanita cantik sambil sibuk dengan tab nya
Mendengar
obrolan singkat tersebut aku langsung memastikan kalau kedua pasangan ini sudah
menjalin hubungan serius. Kepastianku menguat ketika aku melihat cincin yang
sama di jari mereka berdua. dalam diam hatiku berteriak, hidup itu kadang tidak
adil ya? Cwe yang lebih indah dari rembulan seperti itu eh mau-maunya
berpasangan dengan si lelaki gelap yang mengalahkan pekatnya tinta gurita. Tak berapa
lama kemudian si lelaki gelap tersebut duduk di samping wanitanya itu. sumpah
ini kedudukanku sebagai penghuni kursi mulai terancam oleh kemesraan mereka. Mana
si lelaki gelap sedikit demi sedikit terus menggeser duduknya yang otomatis si
wanita yang sebelahkupun mepet ke tubuhku. Disitulah kejantananku mulai di uji.
Disatu sisi bukan muhrim karena tubuh wanita terus nempel ke tubuhku, tapi di
sisi lain aku yang lebih dahulu duduk disitu. Karena tidak betah dengan
penjajahan itu, akupun memberi tanda ketidaknyamanan dengan pura-pura bersin. Achiiiiihhh,
,,, sambil mengeuarkan tisu dari dalam saku aku pura-pura bersin dengan nada
rendah. Tapi karena sepertinya bersin itu tidak memberikan efek, akupun mencoba
melakukan bersin dengan nada yang lebih tinggi. Achiiiiiiiiiiiiiihhhhhhhhh,
..., semua yang sedang menikmati sajian langsung menatapku dengan wajah
meringut. Sudah pasti mereka pasti jiji dengan apa yang aku lakukan. Inilah yang
namanya perjuangan demi mempertahankan kedaulatan tempat duduku ini.
Perjuangan
pertamaku seperti gagal, akupun melakukan perjuang berikutnya dengan menembekan
anumisi kedua dengan pura-pura menguap. Uaahhhhh. Aku menguap sambil menatap si
wanita di sampingku yang sedang pamer kemesraan dengan si lelaki gelap. Tapi bukannya
menjauh si wanita tersebut malah menyenggolkan tubuhnya ke tubuhku. Astafirallah.
Dalam hati aku langsung berdoa “ya Allah ini rezeki apa goda’an ya Allah?,
cepat ya Allah jawab, kehangatan tubuhnya sudah menusuk kulit tubuhku nih?. Beberapa
detik berjalan dengan nafas yang terengah engah. Astafirallah, bismilah akupun
dengan reflek kejantanan langsung keluar dari tempelan tubuh wanita cantik itu.
gak bisa aku bukan lelaki murahan. Tapi dalam hatiku juga bicara “heh rif
rezeki itu gak boleh di tolak, cepat gih kembali ke kursi, nikmati tuh
rejekimu?”. Tapi akupun keburu keluar dengan langkah tegap. Untunglah aku
keluar di saat yang tepat karena si ibu-ibu berjalan mendekatiku.
Ini
pak pesanannya? (ucap si ibu sambil menyerahkan pesananku)
Lag-lagi
ucapan si ibu memancing kemarahanku, masa masih saja di panggil “pak”. Tapi tidak
apa setidaknya si ibu itu menyelamatkanku dari belenggu si wanita cantik dan
lelaki gelap yang masih saja pamer kemesraan. Dengan menenteng nasi goreng
hangat yang di bungkus plastik kresek akupun berjalan pulang. Aku si tidak
terbebani dengan plastik kresek ini, tapi bebanku masih saja terbayang oleh si
wanita cantik tadi. Nasi goreng yang hangat ini tidak mengalirkan kehangatannya
ke tanganku karena hatiku ini lebih hanyat bahkan cenderung panas karena si
ibu-ibu penjual nasi goreng yang manggil aku dengan sbutan “pak”.
Warung Nasi goreng, jalan
pakuningratan
Yogyakarta, 21 april 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar