Perselisihan di antara K.H. As'ad Syamsul
Arifin dimulai sejak pleno pertama PBNU hasil Muktamar Situbondo, di Pondok
Tebuireng, Jombang pada januari 1985. Petama, rapat pleno memutuskan bahwa yang
berhak dan boleh mewakili NU keluar adalah Rais Aam dan ketua Tanfidziyah (Gus
Dur dan K.H. Achmad Siddiq). Keputusan ini dinilai membatasi gerak dan langkah
ulama senior, terutama Kiai As'ad Syamsul Arifin yang sebelumnya sering bertemu
Presiden Soeharto dan menteri-menteri. Kedua, K.H. As'ad Syamsul Arifin juga
kecewa terhadap pernyataan Gus Dur mengenai susunan pengurus PBNU hasil
Muktamar ke-27 Situbondo yang dinilainya
kurang diorientasikan kepada kemampuan, tetapi didasarkan pada titipan. Ia
menyebut banyak nama, terutama tampilnya Sekjen Anwar Nuris (orang dekat Kiai
As'ad). Ketiga, tindakan Gus Dur, di antaranya Gus Dur menjadi ketua DKJ (Dewan
Kesenian Jakarta), membuka Malam Puisi Yesus Kristus, cenderung membela Syi'ah,
dan mengganti Assalamu'alaikum dengan "selamat pagi atau "selamat
sore" sebagai salam umum. Mengenai ketua DKJ, Kiai As'ad mensyaratkan agar
melepaskan kegiatan di DKJ, Gus Dur menuruti. Sebenarnya hal-hal tersebut bukan
hanya perselisihan antara dua tokoh, tetapi juga dipersoalkan oleh para kiai
sampai para kiai mengadakan pertemuan khusus di Pondok Pesantren Darul
at-Taubid, Arjawinangn, Cirebon untuk berdialog dengan Gus Dur dan kiai-kiai
(sekitar 200 kiai hadir) yang menggugat Gus Dur pada Maret 1989. Melalui hasil
pertemuan itu para kiai menilai ide-ide Gus Dur menyimpang dari jalur
Ahlussunnah wal jama'ah. Akan tetapi, konflik di antara Kiai As'ad dengan Gus
Dur tetap berlanjut.
Puncak perselisihan antara dua tokoh terjadi menjelang
Munas dan Konbes di pondok Ihya' Ulumiddin, Cilacap, 15-18 November 1987
(sebelum pertemuan tersebut di atas). Ada satu hal penting yang terjadi , yaitu
upaya penguatan kembali kelompok Cipete, dimana mereka menginginkan agar
khittah 1926 NU ditinjau kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar