Sebelum
Gus Dur menjadi presiden, tepatnya ketika jabatan presiden masih di tangan
Habibie, Pram tidaklah simpatik. Menurutnya dalam sebuah wawancara dengan media
massa, ia menilai habibie sebagai pemimpin atau kepala negara belumlah teruji oleh
sejarah, untuk tidak mengatakan Habibie belum memiliki wawasan kenegaraan
apalagi wawasan kebangsaan dan keindonesiaan dan nasionalisme.
Sampai kemudian
pada era Gus Dur, pemerintah mencoba menjembatani dialog rekonsiliasi dengan
Pram, dengan mengundang Pram ke istana untuk membicarakan konsep negara
Indonesia sebagai negara maritim. Gus Dur mengakui bahwa Pram memiliki konsep
kuat soal maritim yang tercermin dalam beberapa karyanya seperti Arok Dedes. Pram
dan Gus Dur memiliki kesamaan akan proses pendangkalan kekuatan kemaritiman
yang sebenarnya ada, tapi di tenggelamkan sejak pemerintahan Soeharto. Dari pertemuan
inilah kemudian pada pemerintahan Gus Dur di bentuk sebuah kementrian yang
mengurusi kekuatan dan kekayaan laun.
Lebih jauh
dari perbincangan ke perbncangan selanjutnya antara Pram denga Gus Dur, muncul
wacana pencabutan tap MPRS No.25 tentang pelanggaran organisasi, ideologi PKI,
pengajaran dan penyebaran atau diskusi tentang komunisme di tanah air
Indonesia. Dari wacana tersebutlah, Gus Dur mendapatkan tantangan dari kalangan
Islam garis keras dan kebanyakan kalangan militer. Perdebatan berlarut-larut,
menimbulkan polemik panjang, kontroversi tak berkesudahan, dan akhirnya Gus Dur
mengucapkan ia hanya mengajak kita mulai terbuka, maju, dan berdamai dengan
sejarah, jika wacana tersebut kurang berkenan, Gus Dur tidak akan
memperpanjangnya.
Berkaitan
dengan Pram, Gus Dur di hadapan publik sebagai kepala pemerintahan, atas nama
ansor-NU yang bagaimanapun sedikit banyak, sengaja atau dimanfaatkan ikut serta
dalam peristiwa pembantaian terhadap orang-orang PKI atau yang diduga PKI meminta
maaf kepada Pram. Namun, Pram menolak permintaan maaf Gus Dur. Hal ini
disebabkan, menurut Pram, Gus Dur cenderung takut pada Soeharto sehingga
beberapa kali sowan kepada Soeharto. Bagi Pram rekonsiliasi harus dipakai
dengan perspektif orang yang teraniaya, bukan yang menganiaya. Jadi, sulit
dibayangkan jika inisiatif dan pelaksanaan rekonsiliasi dilakukan oleh yang
menganiaya. Istilahnya Pram dengan keras mengatakan “Gampang amat minta maaf”.
Pernyataan
maaf Gus Dur atas perilaku yang pernah terjadi pada kelompok tradisinya di NU
menjadi kontroversi di lingkungannya sendiri, yang terang-terangan menolak
permintaan maaf tersebut, dan juga mendapat tantangan dari kalangan di luar
tradisinya juga. Sudah begitu, permintaan maaf itu di tolak pula oleh Pram. Hal
ini menjadi kontroversi dari kekerasan hati Pram. Sepertinya kedua tokoh ini
bersaing ketat soal polemik dan kontroversi.
Menurut
Pram, Gus Dur bukanlah tipe seorang pemimpin yang bisa diharapkan. Baginya, Gus
Dur memang demokratis, tetapi hanya bisa
membuat humor dan guyonan. Gus Dur tida tegas
terhadap kekuatan Orde Baru, bahkan beberapa kali menunjukan sikap
melakukan rekonsiliasi dengan mantan pimpinan Orde Baru sendiri, yaitu Soeharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar