Senin, 21 September 2015

Pramoediya Ananta Toer pada era Gus Dur


                Sebelum Gus Dur menjadi presiden, tepatnya ketika jabatan presiden masih di tangan Habibie, Pram tidaklah simpatik. Menurutnya dalam sebuah wawancara dengan media massa, ia menilai habibie sebagai pemimpin atau kepala negara belumlah teruji oleh sejarah, untuk tidak mengatakan Habibie belum memiliki wawasan kenegaraan apalagi wawasan kebangsaan dan keindonesiaan dan nasionalisme.
                Sampai kemudian pada era Gus Dur, pemerintah mencoba menjembatani dialog rekonsiliasi dengan Pram, dengan mengundang Pram ke istana untuk membicarakan konsep negara Indonesia sebagai negara maritim. Gus Dur mengakui bahwa Pram memiliki konsep kuat soal maritim yang tercermin dalam beberapa karyanya seperti Arok Dedes. Pram dan Gus Dur memiliki kesamaan akan proses pendangkalan kekuatan kemaritiman yang sebenarnya ada, tapi di tenggelamkan sejak pemerintahan Soeharto. Dari pertemuan inilah kemudian pada pemerintahan Gus Dur di bentuk sebuah kementrian yang mengurusi kekuatan dan kekayaan laun.
                Lebih jauh dari perbincangan ke perbncangan selanjutnya antara Pram denga Gus Dur, muncul wacana pencabutan tap MPRS No.25 tentang pelanggaran organisasi, ideologi PKI, pengajaran dan penyebaran atau diskusi tentang komunisme di tanah air Indonesia. Dari wacana tersebutlah, Gus Dur mendapatkan tantangan dari kalangan Islam garis keras dan kebanyakan kalangan militer. Perdebatan berlarut-larut, menimbulkan polemik panjang, kontroversi tak berkesudahan, dan akhirnya Gus Dur mengucapkan ia hanya mengajak kita mulai terbuka, maju, dan berdamai dengan sejarah, jika wacana tersebut kurang berkenan, Gus Dur tidak akan memperpanjangnya.
                Berkaitan dengan Pram, Gus Dur di hadapan publik sebagai kepala pemerintahan, atas nama ansor-NU yang bagaimanapun sedikit banyak, sengaja atau dimanfaatkan ikut serta dalam peristiwa pembantaian terhadap orang-orang PKI atau yang diduga PKI meminta maaf kepada Pram. Namun, Pram menolak permintaan maaf Gus Dur. Hal ini disebabkan, menurut Pram, Gus Dur cenderung takut pada Soeharto sehingga beberapa kali sowan kepada Soeharto. Bagi Pram rekonsiliasi harus dipakai dengan perspektif orang yang teraniaya, bukan yang menganiaya. Jadi, sulit dibayangkan jika inisiatif dan pelaksanaan rekonsiliasi dilakukan oleh yang menganiaya. Istilahnya Pram dengan keras mengatakan “Gampang amat minta maaf”.
                Pernyataan maaf Gus Dur atas perilaku yang pernah terjadi pada kelompok tradisinya di NU menjadi kontroversi di lingkungannya sendiri, yang terang-terangan menolak permintaan maaf tersebut, dan juga mendapat tantangan dari kalangan di luar tradisinya juga. Sudah begitu, permintaan maaf itu di tolak pula oleh Pram. Hal ini menjadi kontroversi dari kekerasan hati Pram. Sepertinya kedua tokoh ini bersaing ketat soal polemik dan kontroversi.

                Menurut Pram, Gus Dur bukanlah tipe seorang pemimpin yang bisa diharapkan. Baginya, Gus Dur  memang demokratis, tetapi hanya bisa membuat humor dan guyonan. Gus Dur tida tegas  terhadap kekuatan Orde Baru, bahkan beberapa kali menunjukan sikap melakukan rekonsiliasi dengan mantan pimpinan Orde Baru sendiri, yaitu Soeharto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar