Minggu, 20 September 2015

Pendidikan , Sosial dan Budaya di Jepang



            Seorang Profesor asing yang mengajar di salah satu universitas di Tokyo pernah berkata bahwa sebetulnya orang jepang itu tidak terlalu pintar. Mereka tidak menonjol (poor) dalam penemuan atau penguasaan ilmu-ilmu sosial, tetapi genius dalam menerapkan ilmu sains dan teknologi. Diberikan contohnya bahwa penerima Hadiah Nobel dari jepang yang berjumlah 12 orang (tidak termasuk Nobel Perdamaian yang diterima PM Sato) umumnya di bidang eksakta. Jumlah ini katanya sama dengan yang dimiliki India atau negara kecil Belanda dan Belgia di Eropa.
            Pernyataan yang menggunakan tolok ukur demikian telah mengundang silang pendapat berbagai pihak. Namun semuanya berakhir dengan baik, karena MITI (Kmentrian Perdagangan Internasional dan Industri Jepang) sendiri mengakui bahwa mereka juga memakai tolak ukur tersebut dalam membandingkan hasil karya warganya dengan orang luar.
            Tidak lama kemudian muncul pernyataan mantan PM Nakasone yang kontroversial bahwa “Tingkat pendidikan orang Amerika tidak sebaik orang Jepang karena pengaruh Hitam, Hispanik, dan Minoritas lainnya”. Sudah bisa diduga berbagai protes gencar, terutama dari AS, ditujukan kepada mantan PM, dan sang PM pun memberikan argumen yang bisa dipertanggung jawabkan. Seperti kasus pertama tadi, polemik ini berakhir dengan baik karena sang PM menyesali ucapannya dan meminta maaf kepada pihak yang merasa tersinggung yang diakuinya sebagai Slip of The Tongue.
            Selanjutnya, majalah US News and Word Report pada edisi barunya melakukan studi tentang “daya adaptasi (dalam bentuk score) murid-murid sekolah lanjutan di negara adikuasa seperti AS, Uni Soviet, Jepang, Inggris, Jerman dan Prancis. Hasilnya menunjukan bahwa  siswa sekolah lanjutan di Jepang untuk bidang matematika dan sains adalah terbaik dibanding sekutu-sekutunya, sedangkan untuk bidang sosial dan bahasa (terutama bahasa asing) terendah di antara negara-negara di atas. Penemuan ini menguatkan argumen sang profesor di atas serta menghibur duka sang mantan PM Nakasone. Ternyata, kata orang-orang dan pendukung Nakasone bahwa mutu pendidikan SD sampai dengan SMA Jepang adalah salah satu yang terbaik di dunia.
            Jawaban Nakasone yang cukup simpatik di atas menunjukan ciri umum masyarakat Jepang yang modern tetapi tetap berlandaskan nilai-nilai tradisionalnya. Koreksi diri, toleransi, mandiri, tidak mau menang sendiri, tidak memaksakan kehendak sendiri, dan menghargai pendapat orang lain merupakan faktor yang sangat berperan dalam membangun untuk menjadi negara modern.
            Tulisan ini mencoba memberikan gambaran tentang masyarakat Jepang dari aspek pendidikan, sosial dan budaya yang isinya lebih banyak berdasarkan pengalaman empiris saat berada di tengah-tengah mereka, bergaul, dan bersekolah di sekolah mereka. Semacam grounded reseach yang tentu saja masih banyak kelemahannya karena keterbatasan penulis dalam penguasaan teori ilmu sosial dan budaya.
A.    ASPEK PENDIDIKAN
Lamanya pendidikan di jepang sama dengan kita, yaitu 6 tahun, 3 tahun, 3 tahun dan 4 tahun yang artinya 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA dan 4 tahun di college. Demikian pula dengan kurikulumnya yang relatif sama. Yang agak berbeda adalah penekanannya di mana SD di Jepang lebih di tekankan pada 3 K (Keisan, kaku dan kugo) atau 3 R (Arithmatic, writing and reading) atau jika di Indonesia 3 M (Matematika, membaca dan menulis) yang didukung oleh ilmu pengetahuan sosial (IPS) dan ilmu pengetahuan alam (IPA), serta olahraga. Selain itu, pelajarannya lebih banyak diberikan dalam bentuk visual dari pada teori, serta wajib belajar 9 tahun benar-benar diterapkan sehingga tidak ada seorang Jepangpun yang buta huruf. Atau dengan kata lain, pendidikan orang Jepang minimal SLTP karena jika ada anak Jepang dalam usia sekolah tidak sekolah, maka orang tuanya akan dihukum.
            Sejak kelas 1 SD, anak Jepang sudah dicekoki dengan motto “Negerimu ini miskin karena hanya memiliki batu dan air saja”. Motto itu membentuk jiwa anak Jepang menjadi keras dan pantang menyerah sehingga mereka harus belajar dan berusaha keras sejak kecil agar mereka tidak miskin. Tidak ada dalam benak mereka negerinya gemah ripah loh jinawi, tanah air kaya raya, nyiur melambai, kolam susu dan dongeng-dongeng kekayaan negerinya di masa lalu. Prinsip tertanam sejak kecil sehingga mereka terus berusaha, tidak malas, rasional, disiplin, dan sifat-sifat lainnya yang penuh tantangan sehingga mereka menjadi bangsa yang aktif, dinamis, optimis, dan ofensif. Prinsip-prinsip hidup dan keberhasilan mereka dalam membangun bangsanya bukanya tidak membawa masalah karena sikap yang aktif dan ofensif yang ditunjang oleh nasionalisme berlebihan menyeret mereka ke Perang Dunia II. Namun sesudah itu, mereka menata kembali perilakunya dan menyesuaikannya dengan kondisi yang ada. Sikap mereka tidak lagi disimbolkan dalam bentuk militer atau kekuatan otot seperti samurai, tetapi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasilnya cukup fantastik di mana Jepang sekarang merupakan satu-satunya negara ASIA yang berpredikat negara maju. Semuanya ini sebagai produk dari sistem pendidikannya yang ketat. Sementara pola hidup mereka yang “konsumtif” merupakan akibat keberhasilan ekonominya. Mereka benar-benar sudah mulus meniti tangga pembangunan ekonomi model Rostow. Tinggal landas sudah lama dilaluinya, yakni saat pemerintahan Meiji di akhir abad ke-19. Pengamat asing mengatakan bahwa ini terjadi akibat pengaruh luar yang masuk, teristimewa modernisasi dari Barat yang mencakup hampir di semua bidang kehidupan.
            Dampak lainnya adalah rapuhnya nilai-nilai agama. Hasil suatu studi menunjukkan bahwa rata-rata agama yang dimiliki setiap orang di Jepang adalah lebih dari dua agama. Mereka saat dilahirkan atau meninggal adalah seorang Shinto atau Budha, tetapi saat kawin atau bertahun baru adalah seorang katolik. Seorang sosiolog Jepang sendiri mengatakan bahwa orang Jepang mempunyai agama sebagai sendi kehidupannya, tetapi mereka memiliki norma-norma sosial yang tradisional, yakni sifat samurai. Problem terakhir ini mungkin menjadi masalah bagi negara-negara yang mengutamakan “keseimbangan sekarang dan kelak”. Tetapi masalah ini tampaknya bukan hanya dihadapi Jepang saja, tetapi juga negara-negara lainnya.


Yogyakarta, 12 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar