Seorang Profesor asing yang mengajar
di salah satu universitas di Tokyo pernah berkata bahwa sebetulnya orang jepang
itu tidak terlalu pintar. Mereka tidak menonjol (poor) dalam penemuan atau
penguasaan ilmu-ilmu sosial, tetapi genius dalam menerapkan ilmu sains dan
teknologi. Diberikan contohnya bahwa penerima Hadiah Nobel dari jepang yang
berjumlah 12 orang (tidak termasuk Nobel Perdamaian yang diterima PM Sato)
umumnya di bidang eksakta. Jumlah ini katanya sama dengan yang dimiliki India
atau negara kecil Belanda dan Belgia di Eropa.
Pernyataan yang menggunakan tolok
ukur demikian telah mengundang silang pendapat berbagai pihak. Namun semuanya
berakhir dengan baik, karena MITI (Kmentrian Perdagangan Internasional dan
Industri Jepang) sendiri mengakui bahwa mereka juga memakai tolak ukur tersebut
dalam membandingkan hasil karya warganya dengan orang luar.
Tidak lama kemudian muncul
pernyataan mantan PM Nakasone yang kontroversial bahwa “Tingkat pendidikan
orang Amerika tidak sebaik orang Jepang karena pengaruh Hitam, Hispanik, dan Minoritas
lainnya”. Sudah bisa diduga berbagai protes gencar, terutama dari AS, ditujukan
kepada mantan PM, dan sang PM pun memberikan argumen yang bisa dipertanggung
jawabkan. Seperti kasus pertama tadi, polemik ini berakhir dengan baik karena
sang PM menyesali ucapannya dan meminta maaf kepada pihak yang merasa tersinggung
yang diakuinya sebagai Slip of The Tongue.
Selanjutnya, majalah US News and
Word Report pada edisi barunya melakukan studi tentang “daya adaptasi (dalam
bentuk score) murid-murid sekolah lanjutan di negara adikuasa seperti AS, Uni
Soviet, Jepang, Inggris, Jerman dan Prancis. Hasilnya menunjukan bahwa siswa sekolah lanjutan di Jepang untuk bidang
matematika dan sains adalah terbaik dibanding sekutu-sekutunya, sedangkan untuk
bidang sosial dan bahasa (terutama bahasa asing) terendah di antara
negara-negara di atas. Penemuan ini menguatkan argumen sang profesor di atas
serta menghibur duka sang mantan PM Nakasone. Ternyata, kata orang-orang dan
pendukung Nakasone bahwa mutu pendidikan SD sampai dengan SMA Jepang adalah
salah satu yang terbaik di dunia.
Jawaban Nakasone yang cukup simpatik
di atas menunjukan ciri umum masyarakat Jepang yang modern tetapi tetap
berlandaskan nilai-nilai tradisionalnya. Koreksi diri, toleransi, mandiri,
tidak mau menang sendiri, tidak memaksakan kehendak sendiri, dan menghargai
pendapat orang lain merupakan faktor yang sangat berperan dalam membangun untuk
menjadi negara modern.
Tulisan ini mencoba memberikan
gambaran tentang masyarakat Jepang dari aspek pendidikan, sosial dan budaya
yang isinya lebih banyak berdasarkan pengalaman empiris saat berada di
tengah-tengah mereka, bergaul, dan bersekolah di sekolah mereka. Semacam
grounded reseach yang tentu saja masih banyak kelemahannya karena keterbatasan
penulis dalam penguasaan teori ilmu sosial dan budaya.
A.
ASPEK
PENDIDIKAN
Lamanya pendidikan di jepang sama dengan kita, yaitu 6 tahun, 3
tahun, 3 tahun dan 4 tahun yang artinya 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun
di SMA dan 4 tahun di college. Demikian pula dengan kurikulumnya yang relatif
sama. Yang agak berbeda adalah penekanannya di mana SD di Jepang lebih di
tekankan pada 3 K (Keisan, kaku dan kugo) atau 3 R (Arithmatic,
writing and reading) atau jika di Indonesia 3 M (Matematika, membaca dan
menulis) yang didukung oleh ilmu pengetahuan sosial (IPS) dan ilmu
pengetahuan alam (IPA), serta olahraga. Selain itu, pelajarannya lebih
banyak diberikan dalam bentuk visual dari pada teori, serta wajib
belajar 9 tahun benar-benar diterapkan sehingga tidak ada seorang Jepangpun
yang buta huruf. Atau dengan kata lain, pendidikan orang Jepang minimal SLTP
karena jika ada anak Jepang dalam usia sekolah tidak sekolah, maka orang
tuanya akan dihukum.
Sejak kelas 1 SD,
anak Jepang sudah dicekoki dengan motto “Negerimu ini miskin karena hanya
memiliki batu dan air saja”. Motto itu membentuk jiwa anak Jepang
menjadi keras dan pantang menyerah sehingga mereka harus belajar dan berusaha
keras sejak kecil agar mereka tidak miskin. Tidak ada dalam benak mereka
negerinya gemah ripah loh jinawi, tanah air kaya raya, nyiur melambai, kolam
susu dan dongeng-dongeng kekayaan negerinya di masa lalu. Prinsip tertanam
sejak kecil sehingga mereka terus berusaha, tidak malas, rasional, disiplin,
dan sifat-sifat lainnya yang penuh tantangan sehingga mereka menjadi bangsa
yang aktif, dinamis, optimis, dan ofensif. Prinsip-prinsip hidup dan
keberhasilan mereka dalam membangun bangsanya bukanya tidak membawa masalah
karena sikap yang aktif dan ofensif yang ditunjang oleh nasionalisme berlebihan
menyeret mereka ke Perang Dunia II. Namun sesudah itu, mereka menata kembali
perilakunya dan menyesuaikannya dengan kondisi yang ada. Sikap mereka tidak
lagi disimbolkan dalam bentuk militer atau kekuatan otot seperti samurai,
tetapi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasilnya cukup fantastik di mana
Jepang sekarang merupakan satu-satunya negara ASIA yang berpredikat negara
maju. Semuanya ini sebagai produk dari sistem pendidikannya yang ketat.
Sementara pola hidup mereka yang “konsumtif” merupakan akibat keberhasilan
ekonominya. Mereka benar-benar sudah mulus meniti tangga pembangunan ekonomi
model Rostow. Tinggal landas sudah lama dilaluinya, yakni saat pemerintahan
Meiji di akhir abad ke-19. Pengamat asing mengatakan bahwa ini terjadi akibat
pengaruh luar yang masuk, teristimewa modernisasi dari Barat yang mencakup
hampir di semua bidang kehidupan.
Dampak lainnya
adalah rapuhnya nilai-nilai agama. Hasil suatu studi menunjukkan bahwa
rata-rata agama yang dimiliki setiap orang di Jepang adalah lebih dari dua
agama. Mereka saat dilahirkan atau meninggal adalah seorang Shinto atau Budha,
tetapi saat kawin atau bertahun baru adalah seorang katolik. Seorang sosiolog
Jepang sendiri mengatakan bahwa orang Jepang mempunyai agama sebagai sendi
kehidupannya, tetapi mereka memiliki norma-norma sosial yang tradisional, yakni
sifat samurai. Problem terakhir ini mungkin menjadi masalah bagi negara-negara
yang mengutamakan “keseimbangan sekarang dan kelak”. Tetapi masalah ini
tampaknya bukan hanya dihadapi Jepang saja, tetapi juga negara-negara lainnya.
Yogyakarta, 12 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar