Rabu, 30 September 2015

PERBANDINGAN ANTARA FILSAFAT TIMUR DAN FILSAFAT BARAT



            Priyono[1]  menyebutkan empat bidang besar yang menjadi titik pembeda antara filsafat Timur dan Barat, yang secara khas dihayati oleh masing-masing budaya, yaitu: (1) Pengetahuan, (2) sikap terhadap alam, (3) ideal dan cita-cita hidup, dan (4) satatus persona.
            Dalam filsafat Barat, rasio (akal budi) memegang peranan utama. Hal ini tergambar antara lain dari ungkapan Aristoteles, bahwa rasio merupakan mahkota kodrat manusia. Dengan rasio tersebut manusia di dalam Barat mampu mengembangkan ilmu dan membebaskan manusia dari mitos-mitos. Pada bagian lain, filsafat Timur lebih menekankan unsur intuisi (cahaya ilahi) jika dalam budaya Barat, belajar misalnya ditujukan untuk mampu menjawab tantangan alam, dalam dunia Timur justru sebaliknya, belajar adalah untuk mendidik manusia menjadi bijaksana. Dengan kebijaksanaan manusia akan menghayati hidup lebih baik dan sempurna karena hidup merupakan seni yang sulit dan membutuhkan refleksi sepanjang hidup, sebuah sikap yang tidak mengandalkan akal budi sebagai kekuatan utama.
            Tentang sikap terhadap alam, tampak bahwa filsafat Barat bersifat eksploitatif (menguras atau mengeruk). Dengan ilmu dan teknologi yang dikuasainya, alam ditaklukan dan dikuras untuk kepentingan manusia. Hal ini berbeda dengan filsafat Timur yang memandang bahwa alam pun mempunyai jiwa, bahwa manusia adalah bagian dari alam dan antara manusia dan alam berasal dari zat yang satu. Terutama dalam hal ini India dan Cina amat menekankan unsur harmoni dengan alam tersebut.
            Menurut Priyono,[2] ideal atau cita-cita hidup masyarakat Barat adalah to do is mpre important than to be yang artinya, “Bertindak adalah lebih penting daripada berada”. Sikap untuk mengisi hidup selalu bertindak dan bekerja setinggi mungkin. Sebaliknya, manusia Timur lahir dan hidup dalam budaya yang menyebut diri to be is more important than to do yang artinya, “Ada dan hadir lebih penting daripada bertindak”. Kensekuensi dari ideal hidup demikian menyebabkan manusia Timur cenderung pasif, konvensional, dan dengan sendirinya tidak menyukai konflik. Padahal, melalui konflik itulah manusia Barat mengadakan perbaikan-perbaikan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan manusia. Jadi, tatkala manusia Barat berdebat tentang cara memperoleh materi, manusia Timur justru di ajarkan untuk hidup tenang bersahaja.
            Selanjutnya, mengenai status persona, filsafat Barat memandang manusia sebagai individu yang berhadapan dengan masyarakat. Itulah sebabnya dalam dunia Barat (khususnya dalam lapangan hukum), hak-hak individu lebih dikedepankan dari pada hak-hak kolektif. Kebalikannya, dalam filsafat Timur, manusia individu justru di pandang sebagai bagian dari masyarakat itu. dapat dikatakan hal ini sinkron dengan cara pandang filsafat Timur terhadap hubungan manusia dengan alam.
            Sementara itu, filsafat (negara-negara) Islam apabila mengacu sepenuhnya kepada agama Islam, dapat dikatakan telah mulai menjembatani corak filsafat Barat dan Timur ini. Walaupun demikian, dalam kenyataannya, filsafat (negara-negara) Islam itu telah berinteraksi dengan pandangan hidup masyarakat setempat, sehingga unsur-unsur ketimuran sebagaimana tampak pada filsafat India dan Cina ikut mewarnai filsafat (negar-negara) Islam ini. Dalam sejarah bahkan terbukti bahwa filsafat ini mulai kehilangan pengaruhnya di Eropa seiring dengan direbutnya kembali kawasan Maghribi dari tangan orang-orang Islam. Juga ada wilayah, yang semula berada dalam satu pemerintahan di kawasan Masyriqi, mulai melepaskan diri. Persia (Iran), misalnya kendati masih beragama Islam, menyatakan merdeka dan lepas dari pemerintah Arab.
            Seiring dengan penyebaran agama Islam, pengaruh filsafat ini juga menyebar ke kawasan Afrika dan Asia lainnya, termasuk di Indonesia. Di Asia Selatan dan Tenggara, agama Islam masuk ke dalam sistem sosial yang terutama telah banyak dipengaruhi oleh Buddhisme dan Hinduisme yang telah dianut dari dulu selama berabad-abad. Corak filsafat yang di bawa oleh agama Islam ini kemudian bercampur dengan Buddhisme dan Hinduisme, dan menjadi pandangan hidup bagi masyarakat luas.
            Secara ekstrim, perbandingan antara filsafat Timur dan Barat dapat pula di amati dari pembedaan yang dianut oleh Eerste Nederlandse Sustematisch Ingerichte Encyclopaedie.[3]
            Dalam banyak hal, misalnya, filsafat Barat juga bersifat asli (natuurlijk), konservatif, kolektivitas, dan sebagainya. Perbedaan tersebut dapat dijadikan masukan, tetapi bukan pegangan mutlak. Manusia di manapun ia berada, tidak mungkin dapat hidup dalam satu kutub yang ekstrem demikian. Filsafat Indonesia yang notabene termasuk filsafat Timur juga tidak ingin berada pada salah satu kutub yang terpisah demikian.
            Dalam filosofi bangsa-bangsa Timur, seperti India, Cina, dan Indonesia, selalu diajarkan, bahwa antara mikrokosmos dan makrokosmos senantiasa hidup harmonis: selaras, serasi dan seimbang. Filosofi demikian dalam satu sisi boleh jadi merupakan penyebab keterbelakangan bangsa-bangsa Timur (dengan beberapa pengecualian) dari bangsa-bangsa Barat, tetapi di sisi lain filosofi tersebut justru merupakan kemenagan bangsa-bangsa Timur itu. kemajuan teknologi lebih dahulu di nikmati oleh bangsa-bangsa Barat karena mereka secara gencar berani mengeksploitasi alam, sekalipun akibatnya kerusakan lingkungan hidup pun lebih banyak terjadi di belahan dunia Barat.
            Dengan atribut-atribut demikian, tidak mengherankan apabila filsafat Barat berhasil mencapai kematangannya dengan melahirkan ilmu-ilmu positif dan teknologi sampai akhirnya masyarakat Barat sendiri mempertanyakan kemajuan-kemajuan itu, seperti terbukti dengan munculnya problem ekologi, alienasi, instrumentalisasi akal budi, dan segmentasi bidang kehidupan. Problem-problem ini tidak pernah dipermasalahkan oleh filsafat Timur. Dalam filsafat Timur, manusia menyatu dengan realitas, dan dari sana manusia merefleksikan inti dirinya dan inti realitasnya. Karena kesatuan begitu ditekankan, dengan sendirinya masalah-masalah yang ada dalam pemikiran Barat (ekologi, elienasi, dan lain-lain) tidak dipersoalkan oleh filsafat Timur.[4]
            Dengan latar belakang seperti itu, tidak berarti filsafat Timur lebih terbelakang dalam segala hal dibandingan dengan filsafat Barat. Seperti dinyatakan oleh Sutrisno,[5] filsafat Timur (khususnya India) mengandung ciri sentral religiositas yang mendalam. Artinya, filsafat selalu dikaitkan dengan persoalan keselamatan manusia. Keselamatan itu di capai dengan penguasaan diri dan akhirnya mencapai penemuan diri. Ciri kedua, filsafat Timur tidak membagi-bagi mana yang rasional, tetapi menekankan segi praktis, dalam arti bahwa filsafat senantiasa dikaitkan dengan tujuan hidup manusia sendiri: mengatasi derita, mengatasi duka. Lebih dari itu filsafat Timur tidak bisa menjawab persoalan-persoalan teknologis yang ada dalam masyarakat modern dewasa ini.
            Dengan demikian, menurut Sutrisno, pertanyaan tentang bagaimana filsafat Timur menjawab tantangan-tantangan masyarakat modern sebenarnya kurang tepat diajukan, mengingat filsafat Timur itu mau menyajikan falsafah hidup. Falsafah hidup itu ditawarkan kepada mereka yang mau. Di sinilah segi menarik filsafat Timur itu, yaitu filsafat Timur tidak bersifat memaksa. Filsafat Timur ternyata mampu menawarkan suatu falsafah hidup dengan seluruh kebebasan yang diberikannya.
            Sekalipun terdapat berbagai perbedaan itu, filsafat Timur dan Barat sesungguhnya dapat bekerja sama dan saling melengkapi. Sebagaimana dinyatakan oleh Sutrisno, filsafat Timur dapat belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat pun dapat belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenai identitas mikrokosmos dan makrokosmos. Falsafat Barat mungkin lebih duniawi, filsafat Timur mungkin terlalu mistik.
            Tuntutan untuk mengadakan kerja sama di atas semakin urgensi saat ini, mengingat proses globalisasi sedang dan akan terus berlangsung sebagai akibat kemajuan teknologi komunikasi. Masalah negara-negara di dunia Timur akan dirasakan pula sebagai masalah bagi negara-negara lain di dunia Barat, demikian pula sebaliknya. Problem-problem ekologi dan kemanusiaan, misalnya, sejak lama menjadi perhatian baik filsafat Timur maupun Barat, dan masalah-masalah itu sampai saat ini tetap menuntut pemecahannya bersama-sama.




[1] Priyono, H., Nilai Budaya Barat dan Timur Menuju Tata Hubungan Baru, dalam Tim Redaksi Driyarkara, Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 4-14.
[2] Ibid., hlm. 204
[3] Duyvendak, J.J.L., “Filsafat Tiongkok Klasik (kuno)”, dalam Eerste Nederlandse Systematichte Ingerichte Encylopaedie, Jilid I (terjemahan Poedjioetomo), (Yogyakarta: tanpa penerbit (tidak dipublikasikan), 1956) hlm. 2.
[4] Sutrisno, M,. “Kata Pengantar”, dalam: Tim Redaksi Driyarkara, Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. X.
[5] Ibid., hlm. xi-xii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar