Priyono[1] menyebutkan empat bidang besar yang menjadi
titik pembeda antara filsafat Timur dan Barat, yang secara khas dihayati oleh
masing-masing budaya, yaitu: (1) Pengetahuan, (2) sikap terhadap alam, (3)
ideal dan cita-cita hidup, dan (4) satatus persona.
Dalam filsafat Barat, rasio (akal
budi) memegang peranan utama. Hal ini tergambar antara lain dari ungkapan
Aristoteles, bahwa rasio merupakan mahkota kodrat manusia. Dengan rasio
tersebut manusia di dalam Barat mampu mengembangkan ilmu dan membebaskan
manusia dari mitos-mitos. Pada bagian lain, filsafat Timur lebih menekankan
unsur intuisi (cahaya ilahi) jika dalam budaya Barat, belajar misalnya
ditujukan untuk mampu menjawab tantangan alam, dalam dunia Timur justru
sebaliknya, belajar adalah untuk mendidik manusia menjadi bijaksana. Dengan
kebijaksanaan manusia akan menghayati hidup lebih baik dan sempurna karena
hidup merupakan seni yang sulit dan membutuhkan refleksi sepanjang hidup,
sebuah sikap yang tidak mengandalkan akal budi sebagai kekuatan utama.
Tentang sikap terhadap alam, tampak
bahwa filsafat Barat bersifat eksploitatif (menguras atau mengeruk). Dengan
ilmu dan teknologi yang dikuasainya, alam ditaklukan dan dikuras untuk
kepentingan manusia. Hal ini berbeda dengan filsafat Timur yang memandang bahwa
alam pun mempunyai jiwa, bahwa manusia adalah bagian dari alam dan antara
manusia dan alam berasal dari zat yang satu. Terutama dalam hal ini India dan
Cina amat menekankan unsur harmoni dengan alam tersebut.
Menurut Priyono,[2]
ideal atau cita-cita hidup masyarakat Barat adalah to do is mpre
important than to be yang artinya, “Bertindak adalah lebih penting
daripada berada”. Sikap untuk mengisi hidup selalu bertindak dan bekerja
setinggi mungkin. Sebaliknya, manusia Timur lahir dan hidup dalam budaya yang
menyebut diri to be is more important than to do yang artinya, “Ada
dan hadir lebih penting daripada bertindak”. Kensekuensi dari ideal hidup
demikian menyebabkan manusia Timur cenderung pasif, konvensional, dan dengan
sendirinya tidak menyukai konflik. Padahal, melalui konflik itulah manusia
Barat mengadakan perbaikan-perbaikan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan
manusia. Jadi, tatkala manusia Barat berdebat tentang cara memperoleh materi,
manusia Timur justru di ajarkan untuk hidup tenang bersahaja.
Selanjutnya, mengenai status
persona, filsafat Barat memandang manusia sebagai individu yang berhadapan
dengan masyarakat. Itulah sebabnya dalam dunia Barat (khususnya dalam lapangan
hukum), hak-hak individu lebih dikedepankan dari pada hak-hak kolektif. Kebalikannya,
dalam filsafat Timur, manusia individu justru di pandang sebagai bagian dari
masyarakat itu. dapat dikatakan hal ini sinkron dengan cara pandang filsafat
Timur terhadap hubungan manusia dengan alam.
Sementara itu, filsafat
(negara-negara) Islam apabila mengacu sepenuhnya kepada agama Islam, dapat
dikatakan telah mulai menjembatani corak filsafat Barat dan Timur ini. Walaupun
demikian, dalam kenyataannya, filsafat (negara-negara) Islam itu telah
berinteraksi dengan pandangan hidup masyarakat setempat, sehingga unsur-unsur
ketimuran sebagaimana tampak pada filsafat India dan Cina ikut mewarnai
filsafat (negar-negara) Islam ini. Dalam sejarah bahkan terbukti bahwa filsafat
ini mulai kehilangan pengaruhnya di Eropa seiring dengan direbutnya kembali
kawasan Maghribi dari tangan orang-orang Islam. Juga ada wilayah, yang semula
berada dalam satu pemerintahan di kawasan Masyriqi, mulai melepaskan diri.
Persia (Iran), misalnya kendati masih beragama Islam, menyatakan merdeka dan
lepas dari pemerintah Arab.
Seiring dengan penyebaran agama
Islam, pengaruh filsafat ini juga menyebar ke kawasan Afrika dan Asia lainnya,
termasuk di Indonesia. Di Asia Selatan dan Tenggara, agama Islam masuk ke dalam
sistem sosial yang terutama telah banyak dipengaruhi oleh Buddhisme dan
Hinduisme yang telah dianut dari dulu selama berabad-abad. Corak filsafat yang
di bawa oleh agama Islam ini kemudian bercampur dengan Buddhisme dan Hinduisme,
dan menjadi pandangan hidup bagi masyarakat luas.
Secara ekstrim, perbandingan antara
filsafat Timur dan Barat dapat pula di amati dari pembedaan yang dianut oleh Eerste
Nederlandse Sustematisch Ingerichte Encyclopaedie.[3]
Dalam banyak hal, misalnya, filsafat
Barat juga bersifat asli (natuurlijk), konservatif, kolektivitas, dan
sebagainya. Perbedaan tersebut dapat dijadikan masukan, tetapi bukan pegangan
mutlak. Manusia di manapun ia berada, tidak mungkin dapat hidup dalam satu
kutub yang ekstrem demikian. Filsafat Indonesia yang notabene termasuk filsafat
Timur juga tidak ingin berada pada salah satu kutub yang terpisah demikian.
Dalam filosofi bangsa-bangsa Timur,
seperti India, Cina, dan Indonesia, selalu diajarkan, bahwa antara mikrokosmos
dan makrokosmos senantiasa hidup harmonis: selaras, serasi dan seimbang.
Filosofi demikian dalam satu sisi boleh jadi merupakan penyebab keterbelakangan
bangsa-bangsa Timur (dengan beberapa pengecualian) dari bangsa-bangsa Barat,
tetapi di sisi lain filosofi tersebut justru merupakan kemenagan bangsa-bangsa
Timur itu. kemajuan teknologi lebih dahulu di nikmati oleh bangsa-bangsa Barat
karena mereka secara gencar berani mengeksploitasi alam, sekalipun akibatnya
kerusakan lingkungan hidup pun lebih banyak terjadi di belahan dunia Barat.
Dengan atribut-atribut demikian,
tidak mengherankan apabila filsafat Barat berhasil mencapai kematangannya
dengan melahirkan ilmu-ilmu positif dan teknologi sampai akhirnya masyarakat
Barat sendiri mempertanyakan kemajuan-kemajuan itu, seperti terbukti dengan
munculnya problem ekologi, alienasi, instrumentalisasi akal budi, dan
segmentasi bidang kehidupan. Problem-problem ini tidak pernah dipermasalahkan
oleh filsafat Timur. Dalam filsafat Timur, manusia menyatu dengan realitas, dan
dari sana manusia merefleksikan inti dirinya dan inti realitasnya. Karena
kesatuan begitu ditekankan, dengan sendirinya masalah-masalah yang ada dalam
pemikiran Barat (ekologi, elienasi, dan lain-lain) tidak dipersoalkan oleh
filsafat Timur.[4]
Dengan latar belakang seperti itu,
tidak berarti filsafat Timur lebih terbelakang dalam segala hal dibandingan
dengan filsafat Barat. Seperti dinyatakan oleh Sutrisno,[5]
filsafat Timur (khususnya India) mengandung ciri sentral religiositas yang
mendalam. Artinya, filsafat selalu dikaitkan dengan persoalan keselamatan
manusia. Keselamatan itu di capai dengan penguasaan diri dan akhirnya mencapai
penemuan diri. Ciri kedua, filsafat Timur tidak membagi-bagi mana yang
rasional, tetapi menekankan segi praktis, dalam arti bahwa filsafat senantiasa
dikaitkan dengan tujuan hidup manusia sendiri: mengatasi derita, mengatasi
duka. Lebih dari itu filsafat Timur tidak bisa menjawab persoalan-persoalan
teknologis yang ada dalam masyarakat modern dewasa ini.
Dengan demikian, menurut Sutrisno,
pertanyaan tentang bagaimana filsafat Timur menjawab tantangan-tantangan
masyarakat modern sebenarnya kurang tepat diajukan, mengingat filsafat Timur
itu mau menyajikan falsafah hidup. Falsafah hidup itu ditawarkan kepada mereka
yang mau. Di sinilah segi menarik filsafat Timur itu, yaitu filsafat Timur
tidak bersifat memaksa. Filsafat Timur ternyata mampu menawarkan suatu falsafah
hidup dengan seluruh kebebasan yang diberikannya.
Sekalipun terdapat berbagai
perbedaan itu, filsafat Timur dan Barat sesungguhnya dapat bekerja sama dan
saling melengkapi. Sebagaimana dinyatakan oleh Sutrisno, filsafat Timur dapat
belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat pun dapat
belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenai
identitas mikrokosmos dan makrokosmos. Falsafat Barat mungkin lebih duniawi,
filsafat Timur mungkin terlalu mistik.
Tuntutan untuk mengadakan kerja sama
di atas semakin urgensi saat ini, mengingat proses globalisasi sedang dan akan
terus berlangsung sebagai akibat kemajuan teknologi komunikasi. Masalah
negara-negara di dunia Timur akan dirasakan pula sebagai masalah bagi
negara-negara lain di dunia Barat, demikian pula sebaliknya. Problem-problem
ekologi dan kemanusiaan, misalnya, sejak lama menjadi perhatian baik filsafat
Timur maupun Barat, dan masalah-masalah itu sampai saat ini tetap menuntut
pemecahannya bersama-sama.
[1] Priyono,
H., Nilai Budaya Barat dan Timur Menuju Tata Hubungan Baru, dalam Tim Redaksi
Driyarkara, Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1993), hlm. 4-14.
[2] Ibid.,
hlm. 204
[3]
Duyvendak, J.J.L., “Filsafat Tiongkok Klasik (kuno)”, dalam Eerste Nederlandse
Systematichte Ingerichte Encylopaedie, Jilid I (terjemahan Poedjioetomo),
(Yogyakarta: tanpa penerbit (tidak dipublikasikan), 1956) hlm. 2.
[4]
Sutrisno, M,. “Kata Pengantar”, dalam: Tim Redaksi Driyarkara, Jelajah Hakikat
Pemikiran Timur, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. X.
[5] Ibid.,
hlm. xi-xii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar