Asal Usul Otoritas Daerah Istimewa Yogyakarta
Ketika
bergabung dengan Republik Indonesia, Sri Sultan HB IX adalah Raja Kasultanan
Yogyakartaa dan Sri PA VIII adalah Raja Kadipaten Pakualaman. Kepemimpinan
mereka merupakan status yang diperoleh dari warisan (ascribed status) orang tua
mereka yang adalah juga raja dari dua projo kejawen tersebut. Kasultanan
Ngayogyokarto Hadiningrat sudah berdiri sejak 1755. Sedangkan Kadipaten
Pakualaman sudah berdiri sejak 1813.
Untuk
mendapatkan gambaran tentang kepemimpinan Sri Sultan, maka perlu sedikit
dipaparkan bagaimana otoritas itu terpelihara dari generasi ke generasi.
Pertama tentu saja ialah:
1.
Sri Sultan HB I (1755-1792)
Beliau mempunyai nama kecil B.R.M. Sudjono.
Setelah dewasa, sebelum naik tahta, HB I mempunyai nama Bendara Pangeran Hario
(B.P.H) Mangkubumi. Filsafat, Ilmu kemiliteran, dan Ilmu pemerintahan lama
ditekuninya. Meskipun ia seorang pejuang yang melawan penjajah dengan gagah
berani, jiwa seninya sangat kuat. Beberapa karya seninya adalah tarian Beksan
Lawung, tarian Wayang Wong, tarian Eteng, seni wayang Purwo, dan seni
arsitektur keraton Yogyakarta.
2.
Sri Sultan HB II (1792-1812
dan 1826-1828)
Beliau mempunyai nama lain yaitu Sultan
Sepuh dan nama kecilnya adalah Gusti Raden Mas Sundoro. Raja yang nasionalis
ini berani menentang penjajah. Ia tidak segan-segan menjuluki Gubernur Jenderal
Daendeles sebagai orang yang tidak tahu adat dan melanggar tata krama. Karena
sikapnya yang anti kolonialisme itu, HB II sempat dibuang ke pulau Pinang dan
Ambon.
3.
Sri Sultan HB III
(1812-1814)
Beliau mempunyai nama kecil Gusti Raden Mas
Surayo. Beliau adalah ayah dari Pangeran Diponegoro, seorang pahlawan
legendaris. Ia menempati petuah ayahnya (HB II) untuk bersikap anti
kolonialisme. Namun, pada masa penjajahan Inggris di Indonesia, HB III
terdesak. HB III terpaksa harus melepaskan haknya atas tanah-tanah di kedu,
Pacitan, Japan, Jipan, dan Grobogan. HB III hanya bertahta selama dua tahun
karena meninggal pada usia 43 tahun.
4.
Sri Sultan HB IV
(1814-1823)
Beliau mempunyai nama kecil G.R.M. Ibnu
Jarot diangkat menjadi Sultan HB IV saat masih berusia 13 tahun. Pengangkatan
itu dilakukan atas usul residen Gernham. Karena masih terlalu muda, dibentuklah
Dewan perwakilan untuk membantu kepemimpinannya. Dewan itu terdiri dari
Danurejo IV, Raden Tumenggung Pringgodiningrat, Raden Tumenggung Ranadiringrat,
dan Raden Tumenggung Mertanegara.
5.
Sri Sultan HB V (1823-1855)
Beliau mempunyai nama kecil G.R.M. Gathot
Menol dan kemudian di angkat menjadi Sultan ketika berusia 3 tahun. Karena
masih anak-anak, ia didampingi oleh sebuah Dewan Perwalian yang terdiri dari
neneknya (Kanjeng Ratu Ageng), ibunya (kanjeng ratu kencana), Pangeran
Mangkubumi, dan Pangeran Diponegoro (anak dari HB III). Namun, Pangeran
Diponegoro kemudian meletakkan jabatan itu. ia bersama dengan Sentot
Prawirodirjo dan Kyai Maja memberontak melawan penjajah Belanda.
6.
Sri Sultan HB VI
(1855-1877)
Belau bernama kecil G.R.M. Mustojo. Semasa
pemerintahannya, Mataram (Kasultanan, Pakualaman, Kasunanan, dan Mangkunegaran)
mengalami kemunduran secara politis. Menurut Ricklefs,kemunduran dalam bidang
politik ini justru mendorong kemajuan di bidang sastra dan budaya (Purwad,
2007). Masa ini bisa disebut sebagai masa renaisans kesusastraan jawa klasik.
7.
Sri Sultan HB VII (1877-1919)
Beliau mempunyai nama kecil G.R.M Murtejo.
Menurut serat Babad Mentaram (1898), penghasilan Kasultanan mengalami
peningkatan. Kasultanan memperoleh keuntungan dari hutan jati di Wonosari,
penyewaan tanah, dan bisnis tujuh belas pabrik gula. Kecuali itu, Kasultanan
juga memperoleh keuntungan dari pembayaran izin penggunaan jalur kereta api
(jalur Yogyakarta-Tempel-Magelang, jalur Yogyakarta-Pundong dan jalur
Brosot-Samigaluh). Menjelang masa tua, HB VII meletakan tahta dan memilih untuk
menyepi (lengser keprabon mandeg pandhita). Untuk itu, HB VII yang juga disebut
sebagai Sultan Sugih membangung pesanggrahan Ambarukmo (saat ini terletak di
antara Hotel Ambarukmo dan Ambarukmo Plaza).
8.
Sri Sultan HB VIII
(1921-1939)
Sebelum dinobatkan beliau bernama G.R.M.
Suyadi. Pada masa HB VIII bertahta, intervensi Belanda dalam pemerintahan
Kasultanan Yogyakarta semakinmkuat. Bahkan, posisi tawar Kasultanan dinyatakan
semakin lemah dalam Acte van Verband yang merupakan politik contrak antara
Belanda dengan HB VIII. Menjelang wafat, HB VIII cepat-cepat mengalihkan
tongkat estafet kepemimpinan kepada putranya (G.R.M. Dorojatun). HB VIII
memanggil pulang putranya kembali ke tanah air dan memberinya pusaka keraton
(Kyai Jaka Piturun) sebagai lambang seksesi.
9.
Sri Sultan HB IX
(1940-1988)
Beliau mempunyai nama kecil Dorojatun dan
sering pula di panggil dengan nama Henkie. Dalam perjuangan Kemerdekaan RI,
setelah Kasultanan bergabung dengan RI, HB IX memainkan peran yang sangat
penting. Yogya menjadi Ibu Kota RI. HB IX pun merancang strategi Serangan Umum
1 Maret 1949 yang menyelamatkan RI di mata dunia. Pada masa awal orde baru, HB
IX menyelamatkan perekonomian Indonesia dengan cara mengembalikan kepercayaan
internasional untuk membantu RI. Sejak 1946 sampai 1971, HB IX berkali-kali
menjabat posisi Menteri Negara RI. Tahun 1950 hingga 1951 dan tahun 1966, ia
menjadi wakil perdana menteri. Setelah itu, HB IX menjadi wakil presiden RI
(1973-1978).
10.
Sri Sultan HB X (1989-)
Beliau mempunyai nama kecil B.R.M. Herjuno
Darpito. Ia lahir di jogja pada 2 maret 1946. Ia naik tahta (jemenengan dalem)
pada 7 maret 1989 dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Yayidin
Panatagama Kalifatullah Hingkang Jumeneng Kaping Sedoso. Gubernur DIY sejak
1998 ini pernah mendapat tanda jasa atau bintang penghargaan dari Austria
(Grand Cross) dan dari Belanda (Orde Van Oranje Nassau).
Ahmad Ariefuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar