Kamis, 28 Mei 2015

Kasultanan Yogyakarta


Asal Usul Otoritas Daerah Istimewa Yogyakarta

                Ketika bergabung dengan Republik Indonesia, Sri Sultan HB IX adalah Raja Kasultanan Yogyakartaa dan Sri PA VIII adalah Raja Kadipaten Pakualaman. Kepemimpinan mereka merupakan status yang diperoleh dari warisan (ascribed status) orang tua mereka yang adalah juga raja dari dua projo kejawen tersebut. Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat sudah berdiri sejak 1755. Sedangkan Kadipaten Pakualaman sudah berdiri sejak 1813.

                Untuk mendapatkan gambaran tentang kepemimpinan Sri Sultan, maka perlu sedikit dipaparkan bagaimana otoritas itu terpelihara dari generasi ke generasi. Pertama tentu saja ialah:

1.       Sri Sultan HB I (1755-1792)

Beliau mempunyai nama kecil B.R.M. Sudjono. Setelah dewasa, sebelum naik tahta, HB I mempunyai nama Bendara Pangeran Hario (B.P.H) Mangkubumi. Filsafat, Ilmu kemiliteran, dan Ilmu pemerintahan lama ditekuninya. Meskipun ia seorang pejuang yang melawan penjajah dengan gagah berani, jiwa seninya sangat kuat. Beberapa karya seninya adalah tarian Beksan Lawung, tarian Wayang Wong, tarian Eteng, seni wayang Purwo, dan seni arsitektur keraton Yogyakarta.

2.       Sri Sultan HB II (1792-1812 dan 1826-1828)

Beliau mempunyai nama lain yaitu Sultan Sepuh dan nama kecilnya adalah Gusti Raden Mas Sundoro. Raja yang nasionalis ini berani menentang penjajah. Ia tidak segan-segan menjuluki Gubernur Jenderal Daendeles sebagai orang yang tidak tahu adat dan melanggar tata krama. Karena sikapnya yang anti kolonialisme itu, HB II sempat dibuang ke pulau Pinang dan Ambon.

3.       Sri Sultan HB III (1812-1814)

Beliau mempunyai nama kecil Gusti Raden Mas Surayo. Beliau adalah ayah dari Pangeran Diponegoro, seorang pahlawan legendaris. Ia menempati petuah ayahnya (HB II) untuk bersikap anti kolonialisme. Namun, pada masa penjajahan Inggris di Indonesia, HB III terdesak. HB III terpaksa harus melepaskan haknya atas tanah-tanah di kedu, Pacitan, Japan, Jipan, dan Grobogan. HB III hanya bertahta selama dua tahun karena meninggal pada usia 43 tahun.

4.       Sri Sultan HB IV (1814-1823)

Beliau mempunyai nama kecil G.R.M. Ibnu Jarot diangkat menjadi Sultan HB IV saat masih berusia 13 tahun. Pengangkatan itu dilakukan atas usul residen Gernham. Karena masih terlalu muda, dibentuklah Dewan perwakilan untuk membantu kepemimpinannya. Dewan itu terdiri dari Danurejo IV, Raden Tumenggung Pringgodiningrat, Raden Tumenggung Ranadiringrat, dan Raden Tumenggung Mertanegara.

5.       Sri Sultan HB V (1823-1855)

Beliau mempunyai nama kecil G.R.M. Gathot Menol dan kemudian di angkat menjadi Sultan ketika berusia 3 tahun. Karena masih anak-anak, ia didampingi oleh sebuah Dewan Perwalian yang terdiri dari neneknya (Kanjeng Ratu Ageng), ibunya (kanjeng ratu kencana), Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Diponegoro (anak dari HB III). Namun, Pangeran Diponegoro kemudian meletakkan jabatan itu. ia bersama dengan Sentot Prawirodirjo dan Kyai Maja memberontak melawan penjajah Belanda.

6.       Sri Sultan HB VI (1855-1877)

Belau bernama kecil G.R.M. Mustojo. Semasa pemerintahannya, Mataram (Kasultanan, Pakualaman, Kasunanan, dan Mangkunegaran) mengalami kemunduran secara politis. Menurut Ricklefs,kemunduran dalam bidang politik ini justru mendorong kemajuan di bidang sastra dan budaya (Purwad, 2007). Masa ini bisa disebut sebagai masa renaisans kesusastraan jawa klasik.

7.       Sri Sultan HB VII (1877-1919)

Beliau mempunyai nama kecil G.R.M Murtejo. Menurut serat Babad Mentaram (1898), penghasilan Kasultanan mengalami peningkatan. Kasultanan memperoleh keuntungan dari hutan jati di Wonosari, penyewaan tanah, dan bisnis tujuh belas pabrik gula. Kecuali itu, Kasultanan juga memperoleh keuntungan dari pembayaran izin penggunaan jalur kereta api (jalur Yogyakarta-Tempel-Magelang, jalur Yogyakarta-Pundong dan jalur Brosot-Samigaluh). Menjelang masa tua, HB VII meletakan tahta dan memilih untuk menyepi (lengser keprabon mandeg pandhita). Untuk itu, HB VII yang juga disebut sebagai Sultan Sugih membangung pesanggrahan Ambarukmo (saat ini terletak di antara Hotel Ambarukmo dan Ambarukmo Plaza).

8.       Sri Sultan HB VIII (1921-1939)

Sebelum dinobatkan beliau bernama G.R.M. Suyadi. Pada masa HB VIII bertahta, intervensi Belanda dalam pemerintahan Kasultanan Yogyakarta semakinmkuat. Bahkan, posisi tawar Kasultanan dinyatakan semakin lemah dalam Acte van Verband yang merupakan politik contrak antara Belanda dengan HB VIII. Menjelang wafat, HB VIII cepat-cepat mengalihkan tongkat estafet kepemimpinan kepada putranya (G.R.M. Dorojatun). HB VIII memanggil pulang putranya kembali ke tanah air dan memberinya pusaka keraton (Kyai Jaka Piturun) sebagai lambang seksesi.

9.       Sri Sultan HB IX (1940-1988)

Beliau mempunyai nama kecil Dorojatun dan sering pula di panggil dengan nama Henkie. Dalam perjuangan Kemerdekaan RI, setelah Kasultanan bergabung dengan RI, HB IX memainkan peran yang sangat penting. Yogya menjadi Ibu Kota RI. HB IX pun merancang strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menyelamatkan RI di mata dunia. Pada masa awal orde baru, HB IX menyelamatkan perekonomian Indonesia dengan cara mengembalikan kepercayaan internasional untuk membantu RI. Sejak 1946 sampai 1971, HB IX berkali-kali menjabat posisi Menteri Negara RI. Tahun 1950 hingga 1951 dan tahun 1966, ia menjadi wakil perdana menteri. Setelah itu, HB IX menjadi wakil presiden RI (1973-1978).

10.   Sri Sultan HB X (1989-)

Beliau mempunyai nama kecil B.R.M. Herjuno Darpito. Ia lahir di jogja pada 2 maret 1946. Ia naik tahta (jemenengan dalem) pada 7 maret 1989 dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Yayidin Panatagama Kalifatullah Hingkang Jumeneng Kaping Sedoso. Gubernur DIY sejak 1998 ini pernah mendapat tanda jasa atau bintang penghargaan dari Austria (Grand Cross) dan dari Belanda (Orde Van Oranje Nassau).
Ahmad Ariefuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar