Setelah
Sri Sultan HB IX wafat pada 1988, jabatan Gubernur DIY dipegang oleh Sri Paku
Alam VIII sampai sepuluh tahun kemudian. Padahal, KGPH Mangkubumi sudah
dinobatkan menjadi Sri Sultan HB X pada 7 maret 1989. Menurut ketentuan,
Gubernur Kepala Daerah DIY adalah Sri Sultan yang sedang berkuasa atau
bertahta. Kenyataannya, sampai Presiden Soeharto lengser pada 1998, Sri Sultan
HB X tidak ditetapkan menjadi Kepala Daerah DIY.
Selama
masa itu, Sri Sultan HB X tidak banyak berkomentar. Ayahandanya memang pernah
mengingatkannya supaya tidak mempunyai ambisi apa pun, kecuali ambisi untuk
menyejahterakan rakyat. Ayahandanya juga pernah mengingatkan supaya ia tidak
berprasangkan buruk atau menjadi iri hati dengan orang lain. Karena itulah,
maka Sri Sultan HB X memilih berdiam diri dan tidak memiliki negative thinking
sekalipun Pemerintah seolah tidak memedulikan haknya untuk menjadi pemimpin
DIY.
Dan
ternyata diam itu emas. Ketika sudah tiba masa dan waktunya, Sri Sultan HB X
justru menjadi pemimpin bukan hanya di Yogya namun juga berdampak di tingkat
nasional. Orang menyebut dan menyanjungnya sebagai seorang tokoh reformasi
nasional. Kemenangan gemilang itu terjadi bukan karena kekuatannya dan juga
tidak dalam rangka merendahkan orang lain yang memusuhinya, tepat seperti
ungkapan nglurung tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Kemenangannya bukan
karena ia membela diri atau meninggikan diri, namun karena pengakuan dan
aspirasi rakyat.
Itulah yang
terjadi. Sri Sultan HB X akhirnya melenggang ke kursi Gubernur DIY bukan karena
ia gencar mempromosikan diri. Rakyatlah yang bergerak untuk mengukuhkan dia
menjadi pemimpin. Itu merupakan sebuah kemenangan yang anggung khas Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar