Goenawan Muhamad
Beliau lahir
di Karangasem, Batang, Jawa tengah. Tanggal 29 juli 1941. Pendiri dan mantan
pemimpin redaksi Majalah Tempo ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai
seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang
mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum. Ia telah menulis
sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair
perempuan Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas 6 SD, ia mengaku menyenangi
acara puisi diaran RRI. Ia juga ikut membaca majalah Kisah, asuhan H.B. Jassin
yang dibeli secara reguler oleh kakaknya yang doktor. Goenawan yang biasanya di
panggil Goen, belajar psikologi di UNIVERSITAS INDONESIA, ilmu politik di
belgia, dan menjadi Niemen Fellow di Harvard University, Amerika Serikat.
Goenawan menikah dengan widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.
Setelah
menjadi pemimpin redaksi Majalah Tempo dua periode (1971-1993 dan 1998-1999),
Goenawan praktis berhenti sebagai wartawan. Bersama musisi Tony Prabowo dan
Jerrad Powel, ia membuat libretto untuk opera kali (dimulai 1996, tapi dalam
revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Wich (1997-2000). Yang pertama
di pentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York. Pada 2006, Patoral,
sebuah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, diamainkan di Tokyo, 2006. Di
tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama
koreografer Wayan Dibya dan penari Ketut beserta Gamelan Sekar Jaya di Berkely,
California.
Di ajuga
ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam Bahasa Indonesia dan Jawa,
Goenawan menuis teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo,
Wisanggeni (1995) dan Dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan
drama-tari Panji sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.
Selama kurang
lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang
sudah diterbitkan, di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan
interlude (1971), yang diterjemahkan ke Bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan
Perancis. Sebagian esainya terhimpun dalam potret Seorang Penyair Muda Sebagai
Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Tetapi lebih dari itu,
tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah catatan Pinggir, sebuah
artikel pendek yang dimuat secara mingguan di halaman paling belakang majalah
Tempo. Konsep dari catatan pinggir adalah sekadar sebagai sebuah komentar
ataupun kritik terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, catatan pinggir
mengambil posisi di tepi, bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya di akhir
1970-an, catatan pinggri telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang
picik, fanatik dan kolot.
Catatan
pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk Majalah Tempo (Kini terbit jilid ke-6
dan ke-7) di antaranya terbit dalam terjemahan Inggris oleh Jennifer Lindsay,
dalam Sidelines dan Conversations with Difference. Kritiknya diwarnai keyakinan
Goenawan bahwa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang meminjam
satu bait dalam sajaknya ialah “dengan ruang yang tak terserap karang”.
Kumpulan
esainya berturut-turut: Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Malin Kundang
(1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah
Revolusi Tak ada lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).
Sajak-sajaknya
dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmarandana (1992),
Misalkan kita di sarajevo (1998), dan Sajak-sajak Lengkap 1961-2002. Terjemahan
sajak-sajak pilihannya ke dalam Bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit
dengan judul Goenawan Muhamad: Selected Poems (2004).
Setelah
pembredelan Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus
Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan
Aliansi Jurnalis Independen, serta sejumlah cendikiawan yang memperjuangkan
kebebasan ekspresi. Secara sembunyi-sembunyi, antara lain di Jalan Utan Kayu
68H, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap Orde Baru.
Sebab itu, di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro-demokrasi,
seniman, dan cendikiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu.
Dan ikatan
inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo, Jaringan
Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme Penyair, yang meskipun tak
tergabung dalam satu badan, bersama-sama disebut “Komunitas Utan Kayu”. Semuanya
meneruskan cita-cita yang tumbuh dalam perlawanan terhadap pemberangusan
ekspresi.
Tahun 2006, Goenawan dapat anugerah sastra Dan David Prize,
bersama antara lain esais & pejuang kemerdekaan polandia, Adam Michnik, dan
Musikus Amerika, Yo-yo-Ma. Tahun 2005, ia bersama wartawan Joesoef Ishak
mendapat Wertheim Award. Sebelumnya Penghargaan A. Teeuw (1992), Louis Lyon
Award dan Katulistiwa Award untuk puisinya. Karya terbaru Goenawan Muhamad
adalah buku berjudul Tuhan dan Hal-hal yang tak selesai (2007), berisi 99 esai
liris pendek. Yang edsi bahasa inggrisnya berjudul On God and Other Unfinished
Things, diterjemahkan oleh Laksmi Pamuntjak.
Hingga kini, Goenawan Mohamad banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara, narasumber maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang diadakan di Gedung Putih pada 2001 dimana Bill Clinton dan Madeleine Albright menjadi tuan rumah
Twiiter Goenawan Muhamad : @gm_gm
Ahmad Ariefuddin